Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dalam perkembangannya, respon masyarakat sangat baik terhadap masalah pendidikan, pengasuhan dan perlindungan anak usia dini untuk usia 0 sampai dengan 6 tahun dengan berbagai jenis layanan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada, baik melalui jalur formal dan nonformal.
Ada dua tujuan mengapa perlu diselenggarakan pendidikan anak usia dini, yaitu:
- Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
- Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Apakah pendidikan anak usia dini itu penting? Ya, karena masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya, hingga masa dewasa. Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Singkatnya, pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Berikut beberapa ruang lingkup Pendidikan Anak Usia Dini :
• Infant (0-1 tahun)
• Toddler (2-3 tahun)
• Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
• Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)
Saat ini, sudah ada beberapa satuan pendidikan penyelenggara Pendidikan Anak Usia Dini, diantaranya adalah :
• Taman Kanak-kanak (TK)
• Raudatul Athfal (RA)
• Bustanul Athfal (BA)
• Kelompok Bermain (KB)
• Taman Penitipan Anak (TPA)
• Satuan PAUD Sejenis (SPS)
• Sekolah Dasar Kelas Awal (kelas 1,2,3)
• Bina Keluarga Balita
• Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
• Keluarga
• Lingkungan
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumber daya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan ini.
Meski PAUD di Indonesia usianya terbilang amat muda, yaitu sejak 1997/1998 melalui proyek Bank Dunia, namun program ini cepat menyeruak ke jajaran isu pendidikan papan atas. Bahkan kini PAUD menjadi salah satu dari 10 program prioritas Departemen Pendidikan Nasional.
Sejumlah tokoh penting , mulai pimpinan organisasi wanita(muslimat NU, Aisyiah Muhammadiyah, PKK, Bhayangkari dll), dokter, pakar dari perguruan tinggi, birokrat hingga istri gubernur, walikota/bupati, camat sampai lurah terlibat aktif dalam perancangan dan pelaksanaan program PAUD. Pendeknya demam PAUD kini melanda seantero negeri. Puluhan ribu lembaga PAUD sudah didirikan, yang menyodok sampai di perkampungan.
Karena mencakup usia 0-6 tahun, PAUD meliputi formal (TK) dan nonformal (Kelompok Bermain, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Minggu, Taman Pendidikan Alque’an, Pos PAUD, BKB dll). Kehadiran pendidikan nonformal secara teoritis filosofis dimaksudkan sebagai komplen pendidikan formal. Namun dalam berbagai kasus kita jumpai di lapangan, antara pendidikan formal dan nonformal tidak jarang berada dalam posisi yang saling berhadapan.
Begitu juga PAUD formal dan nonformal. Fakta di lapangan menunjukan dengan jelas bahwa perseteruan diam-diam kerap terjadi diantara mereka yang mengurusi PAUD formal dan nonformal. Persolalannya bagaimana mencari upaya yang cerdas untuk meredakan ketegangan itu dan semuanya dipersembahkan untuk optimalisasi layanan pendidikan bagi anak.
Asumi-asumsi yang menganggap bahwa TK itu elitis, mahal, formalistik, kaku hingga pemaksaan penyeragaman terhadap keunikan anak mestinya tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Begitu juga denga PAUD nonformal yang dianggap katro alias ndeso, ala kadarnya, asal jalan, tak punya estándar juga perlu mendapat perhatian serius.
Tampaknya yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengambil nilai-nilai positif yang terdapat pada TK dan PAUD nonformal, kemudian dipadu menjadi satu adonan yang enak dicerna. Sementara nilai-nilai negatifnya dibuang jauh-jauh. Perkembangan PAUD nonformal yang luar biasa pada gilirannya membutuhkan banyak guru. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) belum siap. Dari ratusan ribu guru PAUD boleh jadi 90% lulusan SMA sederajat. Padahal, potensi anak usia dini akan berkembang optimal jika mendapat rangsangan secara tepat. Jika gurunya tidak paham tentang anak, bagaimana bisa optimal? Apalagi honor yang mereka terima berkisar antara 30 ribu hingga 100 ribu.
Inilah dilema raksasa yang dihadapi program PAUD. Kondisi ini bisa dibandingkan dengan periode tahun 1970-an hingga 1980-an. Saat itu, untuk menggenjot perluasan akses pendidikan dasar, pemerintah membangun ratusan ribu SD melalui proyek SD inpres.
Apa yang terjadi? Karena kebutuhan guru baru banyak, sementara suplai lulusan SPG sedikit, maka lulusan SMP, STM, SMA bahkan SD rame-rame diangkat jadi guru SD. Misalnya pada tahun 1985/1986 terjadi pengangkatan guru SD secara spektakuler yaitu 141.324 guru. Padahal kemampuan SPG waktu itu cuma menghasilkan sekitar 31.000 lulusan. Praktis, sisanya yang sekitar 110.000 berasal dari non-SPG. Mereka dilatih, toh tak memberi hasil optimal. Inilah yang dianggap sebagai salah satu biang kerok bobroknya mutu pendidikan dasar kita hingga sekarang. Hal itu mesti menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait kebutuhan guru PAUD dewasa ini.
Sembari menunggu kebijakan baru untuk mengatasi kekurangan dan mutu guru PAUD nonformal, agaknya langkah darurat yang perlu segera diambil adalah menyediakan tenaga pendamping bagi para guru PAUD untuk lebih memahami tentang anak, teknik mengajar yang tepat, teknik bermain, hingga bagaimana cara mengatasi jika ada persoalan yang muncul. Tenaga itu harus stand by dan siap diminta bantuan kapan saja. Mestinya tugas itu dilakukan oleh penilik pendidikan nonformal informal. Tetapi, apakah kualifikasi dan kompetensi mereka memadai?
Oleh karena itu, agaknya perlu ditaruh tenaga psikologi anak, misalnya di setiap kecamatan. Mereka menjadi pendamping sekaligus memberi training kepada guru. Dengan demikian, urusan teknis pembelajaran bisa diselesaikan secara tepat, tepat dan secara akademis bisa dipertanggungjawabkan. Juga sekaligus untuk mencegas stigma bahwa PAUD nonformal dikelola asal-asalan…………