Komitmen Organisasi

Oleh Jamal Riswanto

PENDAHULUAN


Organisasi seperti perusahaan, pada dasarnya merupakan suatu bentuk kelompok sosial yang terdiri dari dari beberapa anggota yang mempunyai persepsi bersama tentang kesatuan mereka. Masing-masing anggota mendapat reward, untuk mencapai tujuan bersama. Kalau suatu kelompok sudah dibentuk dan disadari bersama adanya interpendensi dan saling memberikan reward dan mempersepsikan diri sebagai satu kesatuan dalam mencapai tujuan, tentunya problem organisasi atau perusahaan sebagai kelompok sosial tidak akan akan terjadi.

Realitanya banyak organisasi dalam perkembangannya mengalami problem yang muncul akibat munculnya kelompok-kelompok kecil yang tidak membuat organisasi semakin dinamis, melainkan malah menjadikan keruntuhan organisasi tersebut. Perbedaan peran, harapan, kepentingan, interpendensi, dan persepsi para anggota kelompok menjadi sumber dari konflik internal yang mengancam kelangsungan hidup kelompok tersebut. Misalnya pemogokan karyawan, absensi yang tinggi tingkat turnover tidak terkendali. Semua ini merupakan gejala yang muncul dan disebabkan oleh ketidakpuasan karyawan terhadap organisasi. Ini dikarenakan rendahnya komitmen kerja dari para karyawannya.



PENGERTIAN KOMITMEN ORGANISASI

Dalam perilaku organisasi, terdapat beragam definisi tentang komitmen. Sebagai suatu sikap, menurut Luthans (1992) yang menyatakan komitmen organisasi merupakan:

  1. Keinginan yang kuat untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok
  2. Kemauan usaha yang tinggi untuk organisasi
  3. Suatu keyakinan tertentu dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan
Mathins dan Jackson (2000) memberikan definisi, “Organizational Commitment is the degree to which emplyees bilieve in and accept organizational goals and desire to remain with the organization” (Komitmen Organisasi adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi). Mowday (1992) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Menurut dia, komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Komitmen organisasional merupakan identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi. 
Menurut Lincoln (dalam Bashaw & Grant, 1994), komitmen organisasional mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota, dan kemauan anggota pada organisasi. Blau dan & Boal (dalam Knoop, 1995) menyebutkan komitmen organisasional sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan tehadap organisasi dan tujuan organisasi. Robbins (1989) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak suka dari karayawan terhadap organisasi. 
O’Reilly (1989) menyebutkan komitmen karyawan pada organisasi sebagai ikatan kejiwaan individu terhadap organisasi yang mencakup keterlibatan kerja, kesetiaan, dan perasaan percaya terhadap nilai-nilai organisasi. Steers dan Porter (1983) mengatakan bahwa suatu bentuk komitmen yang muncul bukan hanya bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasikerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan. Steers (dalam Dessler, 1992), komitmen organisasi dapat dilihat dari 3 faktor, yaitu:

  1. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi, 
  2. Kemauan untuk mengusahakan tercapainya kepentingan organisasi, 
  3. Keinginan yang kuat untuk mempertahankan kenaggitaan organisasi
Lincoln (1989) dan Bashaw (1994) mengemukakan komitmen organisasional memiliki 3 indikator:

  1. Kemauan karyawan
  2. Kesetiaan karyawan
  3. Kebanggan karyawan pada organisasi
Menurut Griffin, komitmen organisasi (organisational commitment) adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Seseorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi.
Komitment organisasi adalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Menurut Stephen P. Robbins didefinisikan bahwa keterlibatan pekerjaaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Dalam organisasi sekolah guru merupakan tenaga profesional yang berhadapan langsung dengan siswa, maka guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik mampu menjalankan kebijakan-kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai komimen yang kuat terhadap sekolah tempat dia bekerja.


TEORI DASAR KOMITMEN ORGANISASI

Menurut Moreland dkk. (1993), ada beberapa teori yang menjelaskan dasar-dasar motivasional munculnya komitmen individu dalam organisasi, yaitu teori sosialisasi kelompok, teori pertukaran sosial, teori kategorisasi diri, dan teori iden¬titas.
1. Teori Sosialisasi Kelompok
Menurut model ini, baik kelompok maupun individu melakukan proses evaluasi dalam hubungan bersama dan membandingkan valuenya dengan hubungan yang selama ini ber¬langsung. Dalam evaluasi ini perubahan perasaan akan ber¬pengaruh terhadap komitmen yang dimiliki individu. Semakin tinggi perasaan positif semakin besar juga komitmen organisasinya.
Ada lima tahap yang dilalui dalam model ini, yaitu in¬vestigasi, sosialisasi, maintenance, resosialisasi, dan kenangan dan ada juga empat transisi peran yang dilakukan mulai dari entry, acceptance, divergence, dan exit.
Keanggotaan suatu kelompok berawal dari periode in¬vestigasi. Selama investigasi kelompok melakukan rekrutmen, dan mencari orang yang bisa memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan kelompok. Sementara itu, indi¬vidu akan memasuki kelompok karena ia mencari kelompok yang dapat memberikan kontribusi yang memuaskan kebu¬tuhan dasarnya. Tahap ini akan ditandai masuknya individu ke dalam suatu kelompok dan menjalani proses sosialisasi. Selama sosialisasi kelompok mencoba mengubah individu sehingga ia memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam mencapai tujuan kelompok, sementara itu individu mencoba kelompok sehingga ia memberikan dapat memuaskan kebutuhannya. Bila aktivitas ini sukses, kedua sisi akan mening¬katkan penerimaannya, sehingga individu melakukan transisi penerimaannya dan menjadi anggota penuh suatu kelompok.
Penerimaan menandai berakhirnya sosialisasi dan kemu¬dian mulai dengan periode pemeliharaan. Selama pemeliha¬raan, terjadi proses negosiasi antara individu dan kelompok dalam mencari peran tertentu yang bisa mencapai kepenting¬an kelompok dan individu secara bersamaan. Bila dalam ne¬gosiasi peran sukses, maka tingkat komitmen akan semakin tinggi baik bagi kelompok maupun individu. Sebaliknya bila negosiasi gagal, maka tingkat komitmen yang diperoleh akan mencapai kriteria divergen (DC).
Divergensi akan menandai akhir dari tahap maintenance dan memulai tahap resosialisasi. Selama resosialisasi, kelom¬pok mencoba lagi mengubah individu sehingga ia memberi¬kan kontribusi yang lebih pada pencapaian tujuan kelom¬pok. Sedangkan individu mencoba lagi mengubah kelompok sehingga ia dapat memuaskan kebutuhannya. Bila tingkat komitmen meningkat lagi, maka transisi peran dapat terjadi dan individu mendapatkan keanggotaannya kembali pada kelompok secara penuh, namun bila komitmen tidak dicapai, maka individu akan melakukan transisi peran dengan cara keluar kelompok.
2. Teori Pertukaran Sosial
Teori ini semula dikembangkan oleh Thibaut dan Kelley (1959), dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan. Ide dasar teori ini sangat sederhana. Pertama, setiap hubungan akan selalu melibatkan pertimbangan untung dan rugi bagi pertisapannya. Keseimbangan antara reward dan cost akan menjadi faktor kritis dalam menentukan nilai suatu hubungan. Kedua, dalam sebagian besar suatu hubungan, partisipan termotivasi untuk memaksimalkan reward dan atau menurunkan cost yang diakibatkan hubungan tersebut, dan setiap saat, partisipan melakukan reevaluasi dalam reward dan cost tersebut sehingga hubungan lebih berarti. Ketiga, orang dapat berpartisipasi dalam beberapa hubungan secara simultan, sehingga nilai relatif pada suatu hubungan juga dipengaruhi oleh relationship juga dipengaruhi relation¬ship yang lain yang sesuai bagi partisipan.
3. Teori Kategorisasi Diri
Teori ini semula dikembangkan oleh Turner dkk. (1987 dan berkembang dari penelitian mengenai hubungan antar kelompok. Teori ini membahas berbagai fenomena kelompok seperti pembentukan kelompok, konformitas, penyimpangan dalam pengambilan keputusan, dan kekompakan (kohesi). Teori ini tentunya bisa dibawa kearah komitmen.
Moreland dkk. (1993) menyatakan beberapa pokok dasar teori ini. Pertama, orang termotivasi untuk memahami dunia sekitarnya sehingga ia akan mampu melakukan koping secara efektif terhadap problem yang terjadi. Kedua, setiap stimulus lingkungan baik yang sosial dan nonsosial dapat dikategorisasi. Kategorisasi diri berperan penting dalam mengarahkan perilaku sosial seseorang. Ketiga, kategorisasi diri ini juga meliputi hal yang abstrak, seperti sensasi tentai identitas sosial.
Identitas sosial ini berkembang, ketika seseorang mengkategorisasi dirinya dalam suatu kelompok bukan pada kelompok lainnya. Bila seseorang menyatakan ia sangat unik dibandingkan anggota kelompoknya, maka disebut sebai identitas personal. Hal ini juga dinyatakan oleh Jenkins (199 tentang adanya identitas ini. Peran identitas sangat penting dalam membentuk kategorisasi diri ini.
Hogg (1987) dan Moreland (1993) melihat kategorisasi diri ini dapat berhubungan dengan seberapa cocok anggotanya dengan prototype kelompok. Kemudian membedakan antara atraksi personel dan atraksi sosial sebagai sumber kohesi kelompok. Atraksi personel di antara anggota kelompok mencerminkan tingkat similaritas mereka satu sama lainnya. Sedangkan atraksi sosial di antara anggota kelompok mencerminkan tingkat prototipekalnya. Kedua bentuk atraksi itu berkorelasi, namun tidak identik.
Dalam penjelasannya, kelompok yang kohesi itu dapat akan menarik anggota untuk lebih menyukai kelompok. De¬ngan adanya kesukaan pada kelompok ini, maka komitmen kerja anggota akan bisa ditingkatkan.
Berdasarkan teori di atas, paling tidak ada dua cara per¬ubahan terjadinya komitmen organisasi. Pertama, komitmen juga dapat berubah karena prototype kelompok bersifat un¬tabel. Kedua, komitmen juga dapat berubah karena karakte¬ristik keanggotaan kelompok juga untabel. Dengan peruba¬han kedua prototype tersebut, maka masing-masing individu akan menyesuaikan diri dengan prototype kelompok yang dimasukinya, dan begitu pula sebaliknya. Tampaknya kon¬flik muncul setelah terjadinya perubahan pada prototype ini. Sehingga pemogokan, konflik, dan kasus-kasus negatif yang tidak diharapkan dalam organisasi dapat muncul.


BENTUK KOMITMEN ORGANISASI

Dalam kaitannya dalam komitmen organisasional, Mayer dan Allen (1990) mengidentifikasikan tiga tema berbeda dalam mendefinisikan komitmen. Ketiga tema tersebut :
1. Komitmen sebagai keterikatan afektif pada organisasi (affective commitment)
Adalah tingkat keterikatan secara psikologis dengan organisasi berdasarkan seberapa baik perasaan mengenai organisasi. Komitmen jenis ini muncul dan berkembang oleh dorongan adanya kenyamanan, keamanan, dan manfaat lain yang dirasakan dalam suatu organisasi yang tidak diperolehnya dari tempat atau organisasi yang lain. Semakin nyaman dan tinggi manfaatnya yang dirasakan oleh anggota, semakin tinggi komitmen seseorang pada organisasi.

2. Komitmen sebagai biaya yang harus ditanggung jika meninggalkan atau keluar organisasi (continuance commitment)
Dapat didefinisikan sebagai keterikatan anggota secara psikologis pada organisasi karena biaya yang dia tanggung sebagai konsekuensi keluar organisasi. Dalam kaitannya dengan ini anggota akan mengkalkulasi manfaat dan pengorbanan atas keterlibatan dalam atau menjadi anggota suatu organisasi. Anggota akan cenderung memiliki daya tahan atau komitmen yang tinggi dalam keanggotaan jika pengorbanan akibat keluar organisasi semakin tinggi.

3. Komitmen sebagai kewajiban untuk tetap dalam organisasi (normative commitment)
Adalah keterikatan anggota secara psikologis dengan organisasi karena kewajiban moral untuk memelihara hubungan dengan organisasi. Dalam kaitan ini sesuatu yang mendorong anggota untuk tetap berada dan memberikan sumbangan pada keberadaan suatu organisasi, baik materi maupun non materi, adalah adanya kewajiban moral, yang mana seseorang akan merasa tidak nyaman dan bersalah jika tidak melakukan sesuatu.

Untuk lebih jelasnya, Spector (1997) menggambarkan bentuk-bentuk komitmen organisasional serta faktor-faktor yang membentuknya sebagai berikut:


Kanter (1986) mengemukakan adanya 3 bentuk komitmen organisasional, yaitu:

  1. Komitmen berkesinambungan (continuance commitment), yaitu komitmen yang berhubungan dengan dedikasi anggota dalam melangsungkan kehidupan organisasi dan menghasilkan orang yang mau berkorban dan berinvestasi pada organisasi
  2. Komitmen terpadu (cohesion commitment), yaitu komitmen anggota terhadap organisasi sebagai akibat adanya hubungan sosial dengan anggota lain di dalam organisasi. Ini terjasi karena karyawan percaya bahwa norma-norma yang dianut organisasi merupakan norma-norma yang bermanfaat.
  3. Komitmen terkontrol (control commitment), yaitu komitmen anggota pada norma organisasi yang memberikan perilaku ke arah yang diinginkannya. Norma-norma yang dimiliki organisasi sesuai dan mampu memberikan sumbangan terhadap perilaku yang diinginkannya.


PROSES TERJADINYA KOMITMEN ORGANISASI

Bashaw dan Grant (dalam Amstrong, 1994) menjelaskan bahwa komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan sebuah proses berkesinambungan dan merupakan sebuah pengalaman individu ketika bergabung dalam sebuah organisasi.
Gary Dessler (1999) mengemukakan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk membangun komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:

  1. Make it charismatic: Jadikan visi dan misi organisasi sebagai sesuatu yang karismatik, sesuatu yang dijadikan pijakan, dasar bagi setiap karyawan dalam berperilaku, bersikap dan bertindak.
  2. Build the tradition: Segala sesuatu yang baik di organisasi jadikanlah sebagai suatu tradisi yang secara terus-menerus dipelihara, dijaga oleh generasi berikutnya.
  3. Have comprehensive grievance procedures: Bila ada keluhan atau komplain dan pihak luar ataupun dan internal organisasi maka organisasi harus memiliki prosedur untuk mengatasi keluhan tersebut secara menyeluruh.
  4. Provide extensive two-way communications: Jalinlah komunikasi dua arah di organisasi tanpa memandang rendah bawahan.
  5. Create a sense of community: Jadikan semua unsur dalam organisasi sebagai suatu community di mana di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, rasa memiliki, kerja sama, berbagi, dll.
  6. Build value-based homogeneity: Membangun nilai-nilai yang didasarkan adanya kesamaan. Setiap anggota organisasi memiliki kesempatan yang sama, misalnya untuk promosi maka dasar yang digunakan untuk promosi adalah kemampuan, ketrampilan, minat, motivasi, kinerja, tanpa ada diskri-minasi.
  7. Share and share alike: Sebaiknya organisasi membuat kebijakan di mana antara karyawan level bawah sampai yang paling atas tidak terlalu berbeda atau mencolok dalam kompensasi yang diterima, gaya hidup, penampilan fisik, dll.
  8. Emphasize barn raising, cross-utilization, and teamwork: Organisasi sebagai suatu community harus bekerja sama, saling berbagi, saling mem¬beri manfaat dan memberikan kesempatan yang sama pada anggota organisasi. Misalnya perlu adanya rotasi sehingga orang yang bekerja di "tempat basah" perlu juga ditempatkan di "tempat yang kering". Semua anggota organisasi merupakan suatu tim kerja. Semuanya harus mem¬berikan kontribusi yang maksimal demi keberhasilan organisasi tersebut.
  9. Get together: Adakan acara-acara yang melibatkan semua anggota organisasi sehingga kebersamaan bisa tedalin. Misalnya, sekali-kali produksi dihentikan dan semua karyawan terlibat dalam event rekreasi bersama keluarga, pertandingan olah raga, seni, dll. yang dilakukan oleh semua anggota organisasi dan keluarganya.
  10. Support employee development: Hasil studi menunjukkan bahwa karyawan akan lebih memiliki komitmen terhadap organisasi bila organisasi mem-perhatikan perkembangan karier karyawan dalam jangka panjang.
  11. Commit to Actualizing: Setiap karyawan diberi kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri secara maksimal di organisasi sesuai dengan kapasitas masing-masing.
  12. Provide first-year job challenge: Karyawan masuk ke organisasi dengan membawa mimpi dan harapannya, kebutuhannya. Berikan bantuan yang kongkret bagi karyawan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dan mewujudkan impiannya. Jika pada tahap-tahap awal karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap organisasai maka karyawan akan cenderung memiliki kinerja yang tinggi pada tahap-tahap berikutnya.
  13. Enrich and empower. Ciptakan kondisi agar karyawan bekerja tidak secara monoton karena nitinitas akan menimbulkan perasaan bosan bagi karyawan. Hal ini tidak baik karena akan menurunkan kinerja karyawan. Misalnya dengan rotasi kerja, memberikan tantangan dengan memberikan tugas, kewajiban dan otoritas tambahan, dll.
  14. Promote from within. Bila ada lowongan jabatan, sebaiknya kesempatan pertama diberikan kepada pihak intern perusahaan sebelum merekrut karyawan dan luar perusahaan.
  15. Provide developmental activities. Bila organisasi membuat kebijakan untuk merekrut karyawan dari dalam sebagai prioritas maka dengan sendirinya hal itu akan memotivasi karyawan untuk terus tumbuh dan berkembang personalnya, juga jabatannya.
  16. The question of employee security. Bila karyawan merasa aman, baik fisik maupun psikis, maka komitmen akan muncul dengan sendirinya. Misalnya, karyawan merasa aman karena perusahaan membuat kebijakan memberikan kesempatan karyawan bekerja selama usia produktif. Dia akan merasa aman dan tidak takut akan ada pemutusan hubungan kerja. Dia merasa aman karena keselamatan keija diperhatikan perusahaan.
  17. Commit to peoplefirst values. Membangun komitmen karyawan pada organisasi merupakan proses yang panjang dan tidak bisa dibentuk secara instan. Oleh karena itu perusahaan hams benar-benar memberikan perlakuan yang benar pada masa awal karyawan memasuki organisasi. Dengan demikian karyawan akan mempunyai persepsi yang positif terhadap organisasi.
  18. Put it in writing. Data-data tentang kebijakan, visi, misi, semboyan, filosofi, sejarah, strategi, dli. organisasi sebaiknya dibuat dalam bentuk tulisan, bukan sekedar bahasa lisan.
  19. Hire "Right-Kind" managers. Bila pimpinan ingin menanamkan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, disiplin, dll pada bawahan, sebaiknya pimpinan sendiri memberikan teladan dalam bentuk sikap dan perilaku sehari-hari.
  20. Walk the talk. Tindakan jauh lebih efektif dan sekedar kata-kata. Bila pimpinan ingin karyawannya berbuat sesuatu maka sebaiknya pimpinan tersebut mulai berbuat sesuatu, tidak sekedar kata-kata atau berbicara.
Mowday et.al. (dalam Minner, 1997) mengemukakan bahwa faktor¬aktor pembentuk komitmen organisasional akan berbeda bagi karyawan yang )am bekerja, setelah menjalani masa kerja yang cukup lama, serta bagi :aryawan yang bekeda dalam tahapan yang lama yang menganggap perusahaan atau organisasi tersebut sudah menjadi bagian dalam hidupnya.
Minner (1997) secara rinci menjelaskan proses terjadinya komitmen organisasional, yaitu sebagai berikut:

  1. Komitmen Awal
  2. Komitmen selama Periode awal Ketenagakerjaan
  3. Komitmen pada karir selanjutnya

Gambar diatas menjelaskan bahwa proses terjadinya komitmen karyawan pada organisasi berbeda. Pada fase awal (initial commitment), faktor yang pengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah:
1. Karakteristik individu,
2. Harapan-harapan karyawan pada organisasi, dan 
3. Karakteristik pekerjaan.
Fase kedua disebut sebagai commitment during early employment. Pada ini karyawan sudah bekerja beberapa tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah pengalaman kerja yang ia akan pada tahap awal dia bekerja, bagaimana pekerjaannya, bagaimana sistem penggajiannya, bagaimana gaya supervisinya, bagaimana hubungan dia dengan teman sejawat atau hubungan dia dengan pimpinannya. Semua faktor ini akan membentuk komitmen awal dan tanggung jawab karyawan pada organisasi yang la akhirnya akan bermuara pada komitmen karyawan pada awal memasuki dunia kerja.
Tahap yang ketiga yang diberi nama commitment during later career. Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen pada fase ini berkaitan dengan investasi, mobilitas kerja, hubungan sosial yang tercipta di organisasi dan pengalaman-pengalaman selama ia bekerja.


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMITMEN ORGANISASI

Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama berorganisasi (Allen & Meyer, 1997). Yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel demografis; dan variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Dalam beberapa penelitian ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis tersebut dan komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat (Aven Parker, & McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997). 
Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota organisasi (Allen & Meyer, 1997). Hal-hal lain yang tercakup ke dalam variabel disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos kerja yang baik (Buchanan dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu kebutuhan untuk berafiliasi dan persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri juga tercakup ke dalam variabel ini. Variabel disposisional ini memiliki hubungan yang lebih kuat dengan komitmen berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman masing-masing anggota dalam organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997). 
Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor atau pemimpinnya (Allen & Meyer, 1997).
Komitmen karyawan pada organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang cukup panjang dan bertahap. Komitmen karyawan pada organisasi juga ditentukan oleh sejumlah faktor. Misalnya, Steers (1985) mengidentifikasi tiga ada faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: 
1. Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi, dan variasi, kebutuhan dan keinginan yang berbeda dan tiap karyawan. 
2. Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja. 
3. Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai anisasi.
David (dalam Minner, 1997) mengemukakan empat faktor yang mengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, dll.
2. Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan, konflik peran dalam pekerjaan, tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dll.
3. Karakteristik struktur, misalnya besar/kecihiya organisasi, bentuk organisasi seperti sentralisasi atau desentralisasi, kehadiran serikat pekerja dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.
4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam organisasi tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan.

Stum (1998) mengemukakan ada 5 faktor yang berpengaruh terhadap komitmen organisasional: 
a. budaya keterbukaan 
b. kepuasan kerja 
c. kesempatan personal untuk berkembang 
d. arah organisasi dan 
e. penghargaan kerja yang sesuai dengan kebutuhan. 
Sedangkan Young et.al (1998) mengemukakan ada 8 faktor yang secara positif berpengaruh terhadap komitmen organisasional: 
(1) Kepuasan terhadap promosi, 
(2) karakteristik peketjaan, 
(3) komunikasi, 
(4) kepuasan terhadap kepemimpinan, 
(5) pertukaran ekstrinsik, 
(6) pertukaran intrinsik, 
(7) imbalan intrinsik, dan 
(8) imbalan ekstrinsik.
Steers dan Porter (dalam Supriyanto, 2000) mengemukakan ada sejumlah faktor yang memengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
1. Faktor personal yang meliputi job expectations, psychological contract, jot choice factors, karakteristik personal. Keseluruhan faktor ini akar membentuk komitmen awal.
2. Faktor organisasi, meliputi initial works experiences, job scope, supervision, goal consistency organizational. Semua faktor itu akar membentuk atau memunculkan tanggung jawab.
3. Non-organizational faktors, yang meliputi availability of alternative jobs. Faktor yang bukan berasal dari dalam organisasi, misalnya ada tidaknya altematif pekerjaan lain. Jika ada dan lebih baik, tentu karyawan akar meninggalkannya.
PENGUKURAN KOMITMEN ORGANISASI
Mowday et.al (dalam Spector dan Wiley (1998) mengembangkan suatu skala yang disebut Self Report Scales untuk mengukur komitmen karyawan terhadap organisasi, yang merupakan penjabaran dan tiga aspek komitmen, yaitu (a) Penerimaan terhadap tujuan organisasi, (b) Keinginan untuk bekerja keras, dan (c) hasrat untuk bertahan menjadi bagian dari organisasi), yaitu sebagai berikut:
Kuesioner Komitmen Organisasi dari Mowday dkk
1 Saya merasa bahwa nilai-nilai yang saya anut sangat mirip dengan nilai¬nilai yang ada pada organisasi
2 Saya merasa bangga apabila berkata pada orang lain bahwa saya menjadi bagian dari organisasi
3 Saya hanya dapat bekerja dengan balk di organisasi yang lain asalkan tipe pekerjaannya sama dengan tipe pekerjaan yang ada di organisasi ini
4 Organisasi ini benar-benar memberikan inspirasi yang terbaik bagi diri saya dalam mencapai prestasi kerja

Skala Komitmen Organisasi dari Meyer dkk
Affective commitment:
1 Saya akan senang sekali menghabiskan sisa karir saya di organisasi ini
2 Saya benar-benar merasakan bahwa seakan-akan masalah di organisasi ini
adalah masalah saya
Continuance Commitment:
3 Sekarang ini tetap bertahan menjadi anggota organisasi adalah sebuah
hal yang perlu, sesuai dengan keinginan saya
4 Sangat berat bagi saya untuk meninggalkan organisasi ini
Normative Commitment:
5 Saya merasa tidak memiliki kewajiban untuk meninggalkan atasan saya
saat ini
6 Saya merasa tidak tepat untuk meninggalkan organisasi saya saat ini,
bahkan bila hal itu menguntungkan

MEMBANGUN KOMITMEN ORGANISASI

Dan konsep teori organisasi, telah dijelaskan bahwa komitimen organisasi itu merupakan hal yang penting bagi organisa terutama untuk menjaga kelangsungan dan pencapaian tujuan. Namun untuk memperoleh komitmen yang tinggi, diperlukan kondisi-kondisi yang memadai untuk mencapainya. Berikut ini sejumlah cara yang digunakan untuk membangun komitmen tersebut berdasarkan empat kategori teori tersebut.
Dalam teori sosialisasi kelompok, idealnya satu organisasi sudah menuntut komitmen organisasi sejak pertama masuk sehingga efisiensi biaya dapat ditekan, dan aktivitas organisasi tidak terganggu oleh adanya loyalitas. Namun untuk melakukan hal tersebut tidak mudah. Karena sistem seleksi atau rekrutmen untuk mengukur komitmen itu belum mampu mendeteksi adanya komitmen untuk mengukur komitmen itu belum mampu mendeteksi adanya komitmen ini dan komitmen ini dapat berubah seirama dengan perkembangan zaman.
Bila metode observasi gagal mendeteksi, komitmen kerja bisa dibangun melalui sosialisasi kelompok. Upaya ini akan berhasil manakala para anggota memiliki kecocokan value dengan organisasi. Namun bila pertemuan kepentingan antara anggota dan kelompok belum dicapai, maka komitme masih akan rendah, dan bahkan bisa berbuntut terjadinya konflik internal.
Dalam teori pertukaran sosial, komitmen organisasi akan bisa dicapai apabila apa yang diberikan organisasi sesuai dengan apa yang dituntut anggotanya, dan sebaliknya apa yang diharapkan organisasi sesuai dengan besarnya kontribusi anggota. Dengan prinsip ini, maka komitmen akan dicapai apa bila sejak awal rekrutmen dan kontrak. Oleh karena itu, kesepakatan reward dan cost antara kedua belah pihak menjadi dasar terbangun tidaknya komitmen organisasi.
Komitmen organisasi akan bersifat dinamis bila teori kategorisasi diri digunakan untuk menjelaskannya. Karena kategorisasi diri ini setiap saat berubah seiring dengan perubahan anggota untuk mengidentifikasikan dirinya pada kelompok. Meskipun kategorisasi diri itu selalu terjadi dalanm organisasi, komitmen organisasi akan bisa dibangun melalu proses similarisasi sifat antar-anggota. Artinya selama per¬bedaan struktur organisasi tidak dibuat jelas atributnya, dar selama sense of belongingness organisasi selalu ditanamkan, maka komitmen organisasi akan tercapai.



Hubungan antara Kategorisasi dan Komitmen
Kategorisasi diri merupakan proses yang timbul dari pemahaman diri mengenai diri ketika melihat fenomena sosial. Dari pemahaman ini, seseorang bisa mengenali dan lingkungannya dengan segala atribut dan sifat-sifatnya. Kesamaan dan perbedaan atribut dan sifat akan mengarahkan seseorang pada pemahaman mengenai identitas. Bila perbedaan atribut ditonjolkan dalam organisasi, maka konflik kelompok kecil akan terjadi dan akibatnya komitmen organisasi menjadi rendah.






SUMBER REFERENSI


Danim, Sudarwan. Motivasi Kepemimpinan & Efketivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Dharma, Agus, Manajemen Prestasi Kerja .Jakarta: PT. Rajawali, 1985.
Nawawi, Hadari, Evaluasi dan Manajemen Kinerja di Lingkungan Perusahaan dan Industri. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.
Robbins, Stephen P. Essential of Organizational Behavior. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Santrock, John W. Educational Psychology. 2nd Edition. Terjemahan Tri Wibowo B.S. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Siagian, Sondang P. Filsafat Administrasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
Simamora, Henry Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarya: STIE YKPN, 2004.
Soeprihanto, John. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan. Yogyakarta: BPFE, 1996.
Sopiah, Perilaku Organisasional. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2008
Stoner, James A.F and R. Edward Freeman, Manajemen terjemahan Alexander Sindoro. Jakarta: PT. Prenhallindo, 1996.
Sutrisno, Edy. BUDAYA ORGANISASI. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010

Allahu 'alam bishawab