Filsafat Pendidikan Muhammadiyah

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Usia pendidikan Muhammadiyah lebih tua dari Muhammadiyah itu sendiri. KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah, terlebih dahulu mendirikan sekolah di rumahnya lalu mendirikan persyarikatan Muhammadiyah. Bukan hal yang berlebihan bahwa berdirinya persyarikatan Muhammdaiyah adalah untuk menjamin keberlangsungan pendidikan Muhammadiyah itu sendiri.
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah tahun 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta dengan dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam yang amat mengkhawatirkan pada saat itu. Ada tiga penyakit kronis pada saat itu yang dialami oleh umat Islam, yaitu kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Mengapa ia miskin, karena ia bodoh. Lalu mengapa ia bodoh, karena ia terbelakang. Hal ini merupakan lingkaran yang tak berujung dan bertepi serta tak terputus. 
Satu-satunya upaya yang dilakukan untuk memutus lingkaran tersebut adalah dengan mencerdaskan umat. Mencerdaskan umat hanya dapat dilakukan dengan pendidikan. Dengan pendidikan, maka wawasan umat akan bertambah luas dan mendalam sehingga dapat memahami ajaran Islam secara utuh dan tidak tercampur baur dengan takhayul, bid’ah dan khufarat. Hal ini jugalah yang dimanfaatkan oleh penjajah Belanda dan Jepang ketika menancapkan kekuasaan penjajahannya di bumi pertiwi ini. 
Kondisi umat tersebut dijawab oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan sekolah sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah. Pada tahun 1911, KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dengan sepuluh orang murid. Ilmu umum diajarkan oleh seorang guru pemerintah yang bersedia membantu sedangkan ilmu agama diajarkan sendiri oleh beliau. Setahun kemudian, Muhammadiyah berdiri untuk memberikan kontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Organisasi Muhammadiyah bersifat inklusif dan progresif karena berdiri untuk menyerukan pentingnya kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah sebagai usaha untuk mengatasi perbuatan yang penuh dengan takhayul, bid’ah dan khurafat dengan tidak mendasarkan dirinya pada madzhab atau pemikiran tertentu. Perjalanan Muhammadiyah yang inklusif dan progresif ini yang memudahkan Muhammadiyah melakukan pembaruan di segala aspek kehidupan terutama bidang pendidikan. Gerakan pembaruan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan yang menggunakan pola pendidikan secara nasional memberikan gambaran yang utuh sebagai organisasi yang inklusif dan progresif dengan tidak melupakan maksud dan tujuan serta identitasnya dalam pelaksanaan pendidikan Muhammadiyah.


B. Rumusan Masalah
Materi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah”. Untuk memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya serta menghindari meluasnya pembahasan, maka masalah yang akan dibahas kami batasi pada :
1. Pengertian Filsafat
2. Pengertian Pendidikan
3. Pengertian Muhammadiyah
4. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah


C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dalam bertujuan untuk :
1. Memenuhi kewajiban tugas mata kuliah Filsafat Kemuhammadiyahan.
2. Mengetahui Filsafat Pendidikan Muhammadiyah.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Filsafat
Para filsuf memberi batasan yang berbeda-beda mengenai filsafat yang selanjutnya batasan filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf". 
Secara terminology, pengertian filsafat sangat beragam. Hal ini karena para filsuf merumuskan pengertian sesuai dengan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Plato (428 – 348 SM) menjelaskan filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Al-Kindi menyebutkan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filsuf dalam berteori adalah mencapai kebenaran dan dalam berpraktek ialah menyesuaikan dengan kebenaran. 
Hakekat Filsafat Islam ialah ’Aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa ’aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja, aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh.
’Aqal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika ’aqal dan al-Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-bawahi, baik aqal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran mengatasi aqal maka aqal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut otonomi penuh. Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran. Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah aqal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis. Aqal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat Quraniyah. Aqal sebagai subjek, dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang bersumber pada al-Quran. ’Aqal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh ’aqal. Hubungan dialektika ’aqal dan al-Quran bersifat fungsional.


B. Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. 
Menurut Hamka pendidikan adalah proses ta’lim dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan terutama pendidikan Islam baik secara vertikal maupun horizontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi (fitrah) peserta didik baik jasmaniah maupun rohaniah.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan. 
Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 
Al-Qur’an merupakan kitab pendidikan dan pengajaran secara umum, dan juga kitab pendidikan sosial, moral, dan spiritual secara khusus. Dalam Islam, kata pendidikan dapat bermakna tarbiyah, berasal dari kata kerja rabba. Di samping kata rabba terdapat pula kata ta’dîb, berasal dari kata addaba. Selain itu, ada juga kata ta’lim. Berasal dari kata kerja ‘allama. 
Kata ‘allama mengandung pengertian memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian, karena sedikit sekali kemungkinan membina kepribadian Nabi Sulaiman AS. melalui burung, atau membina kepribadian Nabi Adam AS. melalui nama benda-benda. Berbeda dengan pengertian rabba dan addaba, jelas mengandung kata pembinaan dan pemeliharaan. Oleh karenanya, pendidikan dalam Islam lebih tepat disejajarkan dengan pengertiantarbiyah atau ta’dib, bukan dalam pengertian ta’lim. 


C. Muhammadiyah

Latar belakang berdirinya Muhammadiyah didasari oleh empat faktor. Pertama, ketidakbersihan dan campur aduknya kehidupan agama Islam di Indonesia. Kedua, ketidakefisienan lembaga-lembaga islam di Indoneisa. Ketiga, aktifitas misi-misi Katolik dan Protestan. Keempat, sikap acuh tak acuh, malah kadang-kadang sikap merendahkan dari golongan intelegensia terhadap Islam.
Dalam perspektif ini, kelahiran Muhammadiyah didorong oleh kesadaran yang dalam tentang tanggung jawab sosial yang pada saat itu sangat terabaikan. Dengan kata lain, doktrin sosial Islam tidak digumulkan dengan realitas kehidupan umat. Bila diukur dengan semangat zaman waktu itu, Ahmad Dahlan adalah seorang revolusioner. Pada saat orang membesar-besarkan pentingnya ziarah kubur, Ahmad Dahlan malah memberikan fatwa pada tahun 1916 tentang haramnya perbuatan itu. Fatwa ini sangat menggemparkan masyarakat dan para ulama. Ia dituduh sebagai Mu’tazilah, Ingkar Sunnah, Wahabi dan lainnya. Ahmad Dahlan sebagai tokoh kontrovesial sudah lama dikenal masyarakat Yogyakarta. Orang masih ingat peristiwa tahun 1898 pada waktu Ahmad Dahlan membenarkan arah kiblat di Masjid Gedhe Kauman Yogya dengan resiko suraunya yang baru dibangun dihancurkan para penentangnya.
Sudah sejak awal Muhammadiyah merumuskan strategi pemurnian akidah yang dinilai sudah sangat tercemar oleh berbagai sebab, diantaranya karena umat Islam pada umumnya tidak lagi memahami agamanya dari sumber yang autentik. Filter akidah sudah sangat lemah untuk menepis unsur-unsur kepercayaan luar yang merembes ke dalam umat Islam. Di samping itu, pada tataran praktis, Muhammadiyah masa awal ingin menggembirakan orang dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Mengamalkan ajaran agama haruslah membuahkan kesejukan dan kegembiraan bukan kegelisahan.


D. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah mendasari gerakannya kepada sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Assunnah, meskipun tidak anti madzhab. Dengan sikap ini, Muhammadiyah dikatakan sebagai gerakan Islam non Madzhab. Dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam, Muhammadiyah mengembangkan sikap tajdid dan ijtihad, serta menjauhi sikap taklid. Oleh karena itu disamping sebagai gerakan sosial keagamaan, gerakan Muhammadiyah juga dikenal sebagai gerakan tajdid. Perkataan “tajdid” pada asalnya adalah pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Hal ini mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah dalam usaha memperbarui pemahaman kaum Muslimin terhadap agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sejati sesuai dengan jalan Al Qur’an dan Assunnah.
Sejalan dengan hal tersebut dan selaras dengan Anggaran Dasar (Bab III Pasal 6) adalah “menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Untuk itu, Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, institusi zakat, rumah yatim-piatu, rumah sakit dan masjid-masjid serta menerbitkan buku, majalah dan surat kabar yang pada akhirnya untuk menyebarkan Islam.
Dalam konteks amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, sebenarnya sudah dimulai dirintis sebelum terbentuknya organisasi Islam ini pada 18 Desember 1912. Sebab satu tahun sebelumnya, tepatnya 1 Desember 1911, Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Kemudian pada tahun 1915 didirikan Sekolah Dasar pertama di lingkungan Keraton Yogyakarta dan pada tahun 1918 didirikan sekolah baru bernama “Al-Qismul Arqa”. 
Pencapaian Muhammadiyah dalam bidang pendidikan amat luar biasa, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi menjadi bukti bahwa Muhammadiyah tidak main-main dalam mencapai tujuannya. Hal ini tentu saja karena dilandasi oleh keinginan dan kesungguhan yang amat kuat. Aspek filosofis, psikologis dan sosiologis menjadi perhatian utama dalam menyelenggarakan pendidikan yang bermutu serta terjangkau oleh masyarakat luas. Karena berdiri dalam rangka memurnikan ajaran Islam maka tak heran bila aspek-aspek ini dilatar belakangi oleh ajaran Islam. 
Filsafat yang dianut dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensi logiknya, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah perlu menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir maupun praktisi pendidikan Islam. 
Filsafat pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam. 
Al-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat sebagai berikut: (1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai dengan ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; (5) bersifat universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih yang penting dan sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam dan jelas.
Objek kajian filsafat pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan furqan. 
Filsafat pendidikan Muhammadiyah tidak lepas dari pemikiran dan peran yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan. Tidak banyak literature yang membahas tentang pandangan-pandangan beliau tentang pendidikan. Beliau dijuluki “man an action”, orang yang senang berkarya. Dalam hal ini muridnya K.H. Ahmad Dahlan adalah KRH. Hadjid, beliau sangat tekun dan menulis apa-apa yang dipaparkan gurunya, ia rangkum dalam sebuah tulisan tujuh falsafah atau tujuh perkara pelajaran Ahmad Dahlan.
(1) Mempelajari tentang perkataan ulama tentang manusia itu semuanya mati.
(2) mempelajari tentang perkataan ulama tentang manusia yang mementingkan diri-sendiri (individual).
(3) Mempelajari tentang perkataan ulama tentang akal fikiran, perasaan, kehendak, dan perbuatan.
(4) Mempelajari tentang perkataan ulama tentang golongan manusia dalam satu kebenaran.
(5) Mempelajari tentang perkataan ulama tentang penyucian diri.
(6) Mempelajari tentang perkataan ulama tentang ikhlas dalam memimpin.
(7) Mempelajari tentang perkataan ulama tentang ilmu pengetahuan dibagi atas pengetahuan atau teori (belajar ilmu), dan mengerjakan, mempraktekkan (belajar amal). 


Dengan demikian, visi dan misi pendidikan Muhammadiyah tentunya selalu konsisten dan berorientasi pada maksud dan tujuan pendidikan Muhammadiyah itu sendiri. Dalam konteks ini, menarik memperhatikan pernyataan mantan Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat Hidayat Salim yang mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid atau pembaruan yang ditujukan pada dua bidang, yaitu bidang ajaran dan bidang pemikiran. Pembaruan dalam bidang ajaran dititikberatkan pada purifikasi ajaran Islam dengan berpedoman kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan menggunakan akal pikiran yang sehat.
Pembaruan di bidang pemikiran adalah pengembangan wawasan pemikiran (visi) dalam menatalaksanakan (impelementasi) ajaran berkaitan muamalah duniawiyah yang diizinkan syara atau moderninasi pengelolaan dunia sesuai dengan ajaran Islam, seperti pengelolaan Negara dan aspek-aspek yang berkaitan dengan kehidupan di bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Sedangkan misi utama gerakan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam pengertian menatalaksanakan ajaran Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di berbagai bidang kegiatan. 
Mengikuti pemikiran Hidayat Salim di atas, dapat ditegaskan bahwa visi yang diemban oleh pendidikan Muhammadiyah adalah pengembangan wawasan intelektual (berpikir) peserta didik pada setiap jenis dan jenjang pendidikan yang dikelola oleh organisasi Muhammadiyah. Sedangkan misi yang diemban pendidikan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar di semua aspek kehidupan.
Impelementasi visi dan misi pendidikan Muhammadiyah ini tentunya mendapat penekanan atau prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya. Visi dan misi pendidikan Muhammadiyah selalu berorientasi masa depan (futuristic) sebagai bentuk idealisasi pencapaian output yang dikehendaki oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah. Dengan kata lain, visi dan misi pendidikan Muhammadiyah mengandung makna bahwa pendidikan di lingkungan Muhammadiyah mengandung makna bahwa pendidikan di lingkungan Muhammadiyah di dalam pengembangan sumber daya manusia mengantisipasi berbagai tantangan ke depan, yang tidak dapat tidak memerlukan titik tumpu pengembangan yang strategis. Dalam konteks ini, dua titik tumpu utama yang dijadikan andalan proses antisipasi yaitu upaya penguatan iman dan takwa kepada Allah SWT serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.



BAB III
KESIMPULAN

Sejak awal berdirinya, organisasi Muhammadiyah merupakan gerakan purifikasi pemikiran Islam dan sekaligus memposisikan diri sebagai gerakan dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi keagamaan yang sangat concern dengan dunia pendidikan, Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai jenis lembaga pendidikan yang tercakup dalam kegiatan pendidikan formal, nonformal dan informal.
Meskipun Muhammadiyah menganggap sangat penting penyelenggaraan pendidikan formal berupa sekolah, namun organisasi keagamaan ini juga tidak mengabaikan penyelenggaraan pendidikan nonformal dan informal sebagai penunjang keberhasilan pendidikan formal. Keadaan rumah tangga dan masyarakat sekarang semakin sibuk, sehingga waktu untuk menyelenggarakan pendidikan informal dan nonformal semakin sedikit. Hal ini menyebabkan sekolah – tanpa meninggalkan tugas utamanya – seyogyanya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan informal maupun nonformal. Keadaan ini tampaknya disadari oleh Muhammadiyah. 
Sekalipun Muhammadiyah menganggap sekolah perlu menyelenggarakan pendidikan nonformal dan informal, selain pendidikan formal sebagai tugas utamanya tetapi Muhammadiyah tetap menghendaki rumah tangganya terus menyelenggarakan pendidikan nonformal dan informal. Hal itu dapat diketahui karena adanya pandangan Muhammadiyah yang mementingkan pembiasaan yang baik di rumah tangga. 
Di dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 22 Juli 1974 disebutkan bahwa tugas Majelis Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (MPPK) antara lain membina dan memimpin cara penyelenggaraan pendidikan luar sekolah dan pendidikan di rumah tangga. Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi Muhammadiyah jenis pendidikan itu terbagi atas tiga macam. Yakni pendidikan informal yang diselenggarakan di rumah tangga, masyarakat dan di sekolah. Pendidikan nonformal yang diselenggarakan di masyarakat dan di sekolah dan pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/filsafat
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/08/pengertian-filsafat/
Para Filosof Muslim, suntingan M.M Syarief, M.A, Penerbit Mizan 1994
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Prenada Media Grip Islam
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Histories, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, Nida, Jakarta 1990
Pasha, Mustafha Kemal dan Ahmad Adaby Darban 2003, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam: Dalam Perspektif Historis dan Idiologis. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta.
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam, Logos. Jakarta
Mohamad Ali dan Marpuji Ali, Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Tinjauan Historis dan Praktis Hadjid, 2005. Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Malang Press.
www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/08/muktamar01.htm

Allahu 'alam bishawab,.,.,.