Komponen Pendidikan

Disusun oleh :
Syaiful Nirwan, Kustiono dan Puji Astuti

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pemelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan.
Definisi Pendidikan Menurut GBHN adalah :
GBHN 1988 (BP 7 pusat, 1990: 105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: pendidikan nasiaonal yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesia dan berdasarkan pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk memingkatkan kecerdasan serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Guru sebagai pendidik memiliki tugas yang tidak ringan untuk membimbing dan mendidik siswa agar tercapai tujuan akhir pendidikan seperti yang telah digariskan. Dalam menjalankan tugasnya guru hendaknya memperhatikan 10 segi pendidikan, yaitu ;
1. Pendidikan adalah pembinaan tingkah laku perbuatan: penjabarannya adalah merupakan proses pembinaan tingkah laku perbuatan agar anak belajar berpikir, berperasaan, dan bertindak lebih sempurna dan baik daripada sebelumnya. Untuk tujuan tersebut maka pendidikan diarahkan pada seluruh aspek pribadi meliputi jasmani, mental kerohanian dan moral sehingga akan tumbuh kesadaaran pribadi dan bertanggung jawab akibat tingkat perbuatannya.
2. Pendidikan adalah pendidikan diri pribadi: lembaga pendidikan bertujuan mengembangkan diri dan selalu menggunakan daya kemampuan inisiatif dan aktivitasnya sesuai kata hatinya sehingga anak berkesempatan untuk belajar memikul tanggung jawab bagi kelangsungan pendidikan dan perkembangan pribadinya. Hal ini sesuai pernyataan Tagore bahwa pendidikan sebenarnya pendidikan diri sendiri atau diri pribadi (self education).
3. Pendidikan diperankan di berbagai pusat lembaga: tugas pendidikan adalah tugas yang harus dilaksanakan oleh lembaga atau badan pendidikan yang diakui dan diberi hak hidup serta dilindungi undang-undang. Dengan demikian di samping lembaga pendidikan sekolah (sebagai perantara, pemersatu, serta mempertinggi usaha pendidikan) maka keluarga masyarakat juga menerima tugas kewajiban untuk mendidik manusia yang menjadi anggotanya.
4. Pendidikan diarahkan kepada keseluruhan aspek kebudayaan dan kepribadian: pendidik dan lembaga pendidikan harus mengakui kepribadian dan menggalang adanya kesatuan segala aspek kebudayaan, di sini manusia membutuhkan latihan dalam menggunakan kecerdasannya dan saling pengertian.
5. Pendidikan berlangsung sepanjang hidup: menurut Langeveld kewibawaan penting dalam pendidikan sehingga proses pendidikan dari mulai anak mulai mengerti dan mengakui kewibawaan sampai anak tunduk pada kewibawaannya sendiri yang bersumber dari kata hatinya.
6. Pendidikan adalah persiapan penyesuaian yang intelelgent terhadap perubahan sosial : sifat pendidikan reflektif dan progresif harus menruskan nilai kebudayaan dan mengantarkan anak didik pada alam kedewasaan serta membimbing ke arah kerja membangun masa depan. Untuk itu pendidik harus mengembangkan kesadaran bertanggung jawab dan turut serta dalam masyarakat.
7. Pendidikan harus mengabdi kepada seluruh masyarakat.
8. Pendidikan harus diarahkan ke pembinaan cita-cita hidup yang luhur.
9. Pendidikan jiwa nasionalisme.
10. Pendidikan agama merupakan unsur mutlak dalam pembinaan karakteristik bangsa.

Dengan ilustrasi singkat di atas dapat disimpulkan bahwa banyak hal yang perlu dikaji agar tujuan akhir pendidikan secara global dapat tercapai.

B. Pembatasan Masalah.

Dalam penulisan makalah ini penulis hanya membatasi pada masalah “Komponen- komponen dalam pendidikan, komponen tujuan pendidikan, alat pendidikan dan kurikulum”


C. Tujuan Penulisan.

Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Sebagai pemenuhan tugas kelompok mata kuliah Landasan Ilmu Pendidikan.
2. Sebagai bahan bacaan dan referensi tambahan bagi pihak-pihak yang membutuhkan untuk berbagai keperluan.




















BAB II
PEMBAHASAN

A. Komponen – Komponen Dalam Pendidikan.

Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan diperlukan keberadaan komponen-komponen tersebut.
Komponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan atau terlaksananya proses mendidik terdiri dari:

1. Tujuan Pendidikan.

Tingkah laku manusia, secara sadar maupun tidak sadar tentu berarah pada tujuan. Demikian juga halnya tingkah laku manusia yang bersifat dan bernilai pendidikan. Keharusan terdapatnya tujuan pada tindakan pendidikan didasari oleh sifat ilmu pendidikan yang normatif dan praktis. Sebagai ilmu pengetahuan normatif , ilmu pendidikan merumuskan kaidah-kaidah, norma-norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia. Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan pendidik atau guru ialah menanamkam sistem-sistem norma tingkah laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat (Syaifulah, 1981). Langeveld mengemukakan bahwa pandangan hidup manusia menjiwai tingkah laku perbuatan mendidik. Tujuan umum atau tujuan mutakhir pendidikan tergantung pada nilai-nilai atau pandangan hidup tertentu. Pandangan hidup yang menjiwai tingkah laku manusia akan menjiwai tingkah laku pendidikan dan sekaligus akan menentukan tujuan pendidikan manusia.



Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.

Langeveld mengemukakan jenis-jenis tujuan pendidikan terdiri :
a. Tujuan umum (sempurna) : yaitu suatu tujuan akhir yang digariskan secara menyeluruh setelah proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.
b. Tujuan insidental : suatu tujuan pendidikan yang akan dicapai dengan menggunakan peristiwa yang bersifat insidental dalam mencapai tujuan tersebut. Seperti memperingati hari-hari besar nasional.
c. Tujuan sementara : yaitu tujuan pendidikan yang merupakan pemberhentian sementara pada jalan menuju ke tujuan umum. Contoh: anak diajari untuk belajar bicara. Tujuan sementaranya tercapai agar anak bisa bicara tetapi upaya belajarnya tidak berhenti sampai disitu karena anak juga harus tahu bagaimana bicara dengan sopan santun sesuai situasi kondisi yang berlaku.
d. Tujuan yang belum sempurna: yaitu pencapaian sebagian dari tujuan sempurna. Atau dengan kata lain tujuan yang mengenai segi-segi kepribadian manusia tertentu yang hendak dicapai dengan pendidikan tersebut seperti pendidikan keindahan, kesusilaan, keagamaan, kemasyarakatan. Tujuan tak sempurna ini tergantung dari tujuan umum dan tidak dapat terlepas dari tujuan umum tersebut.
e. Tujuan perantara : yaitu tujuan yang menjadi alat untuk mencapai tujuan lainnya. Contoh : pembelajaran bahasa Inggris agar peserta didik dapat membuka wawasan dan menambah ketrampilan dengan penguasaan bahasa tersebut yang telah ditetapkan sebagai bahasa internasional.

Urutan hierarkhis tujuan pendidikan dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan yang terjabar mulai dari :
1. Cita-cita nasional/tujuan nasional (Pembukaan UUD 1945).
2. Tujuan Pembangunan Nasional (dalam Sistem Pendidikan Nasional).
3. Tujuan Institusional (pada tiap tingkat pendidikan/sekolah).
4. Tujuan kurikuler (Pada tiap-tiap bidang studi/mata pelajran atau kuliah).
5. Tujuan instruksional yang dibagi menjadi dua yaitu tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Dengan demikian tampak keterkaitan antara tujuan instruksional yang dicapai guru dalam pembelajaran di kelas dan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang bersumber dari falsafah hidup yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.

Jenjang Pendidikan.
Pendidikan di Indonesia di beri penjenjangan sebagai berikut:
1. Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
* Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
• Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini
Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Jalur Pendidikan Formal
Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudlatul Athfal (RA) yang dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk di sini adalah Bustanul Athfal (BA).
Jalur Pendidikan Non Formal
Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.
Jalur Pendidikan Informal
Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.
Pendidikan Dasar
Pendidikan ini merupakan pendidikan awal selama 9 tahun pertama masa sekolah anak-anak, yaitu di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada masa ini para siswa mempelajari bidang-bidang studi antara lain: – Ilmu Pengetahuan Alam – Matematika – Ilmu Pengetahuan Sosial – Bahasa Indonesia – Bahasa Inggris – Pendidikan Seni – Pendidikan Olahraga
Di akhir masa pendidikan di SD, para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional (UN) untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke SMP dengan lama pendidikan 3 tahun.
Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar, terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

II. Peserta Didik (raw input dan disebut out put bila telah tamat).

Perkembangan konsep pendidikan yang tidak hanya terbatas pada usia sekolah saja memberikan konsekuensi pada pengertian peserta didik. Kalau dulu orang mengasumsikan peserta didik terdiri dari anak-anak pada usia sekolah, maka sekarang peserta didik dimungkinkan termasuk juga didalamnya orang dewasa. Mendasarkan pada pemikiran tersebut di atas maka pembahasan peserta didik seharusnya bermuara pada dua hal tersebut di atas.
Persoalan yang berhubungan dengan peserta didik terkait dengan sifat atau sikap anak didik dikemukakan oleh Langeveld sebagai berikut :
Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, oleh sebab itu anak memiliki sifat kodrat kekanak-kanakan yang berbeda dengan sifat hakikat kedewasaan. Anak memiliki sikap menggantungkan diri, membutuhkan pertolongan dan bimbingan baik jasmaniah maupun rohaniah. Sifat hakikat manusia dalam pendidikan ia mengemukakan anak didik harus diakui sebagai makhluk individu dualitas, sosialitas dan moralitas. Manusia sebagai mahluk yang harus dididik dan mendidik.

Sehubungan dengan persoalan peserta didik disekolah Amstrong 1981 mengemukakan beberapa persoalan peserta didik yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan peserta didik ? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh peserta didik disekolah ? dan bagaimanakah penguasaan bahasa peserta didik di sekolah ? Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak didik.

Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b. Individu yang sedang berkembang.
c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.

Dalam proses pemelajaran peserta didik terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Peserta didik biasa : maksudnya di sini adalah bahwa peserta didik tersebut memiliki aspek-aspek mental, psikologis maupun intelektual yang normal sesuai standar yang berlaku disesuaikan dengan tingkat usia. Misalnya anak usia 5 tahun bagi anak biasa/normal memiliki ciri-ciri dan kemampuan yang umumnya dimiliki oleh anak usia 5 tahun.
b. Peserta didik luar biasa : yaitu anak yang tergolong memiliki kelainan atau penyimpangan dari rata-rata anak normal dalam hal ; ciri-ciri mental, kemampuan sensorik, fisik dan neuromuscular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi atau kombinasi dari dua atau lebih hal-hal yang telah disebutkan.

Berkaitan dengan label luar biasa pada peserta didik tersebut harus difahami hal-hal mendasar mengenai hal itu, yaitu:
• Impairment (kerusakan) : biasanya dikaitkan dengan adanya penyakit atau kerusakan pada suatu jaringan tubuh.
• Disability (kecacatan) : menggambarkan adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi secra obyektif yang dapat diukur/dilihat, karena adanya kehilangan/kelainan dari bagian tubuh.
• Handicapped (ketidakmampuan) : merupakan masalah/akibat dari kerusakan (impaired) ketika berinteraksi dengan lingkungan/tuntutan fungsional yang dibebankan kepada seorang luar biasa pada situasi tertentu.

Jenis / pengklasifikasian anak luar biasa :
a. Kelainan mental : meliputi anak yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (superior) dan yang lamban dalam belajar (mentally retarded).
b. Kelainan sensoris : meliputi anak yang memiliki kerusakan indra penglihatan, pendengaran, dan penciuman.
c. Gangguan komunikasi : meliputi anak yang memiliki kesulitan belajar, gangguan bicara dan komunikasi.
d. Gangguan emosional : meliputi anak yang memiliki gangguan emosional dan ketidak sesuaian perilaku sosial.
e. Tuna ganda atau cacat berat : meliputi berbagai macam kombinasi kecacatan seperti: cerebral palsy dengan tuna rungu.

Dembo memberikan klasifikasi seperti di bawah ini untuk keperluan pembelajaran, yaitu : tunagrahita (mental retardation), kesulitan belajar, gangguan perilaku dan emosi, gangguan bicara dan bahasa, kerusakan pendengaran, kerusakan penglihatan, gangguan fisik dan kesehatan, cacat berat atau cacat ganda, berkecacatan luar biasa tinggi atau berbakat.

Pada prinsipnya penanganan pada anak luar biasa bukan bermaksud memisahkan dengan anak normal melainkan hanya untuk kepentingan kegiatan pembelajaran secara formal agar tercapai tujuan yang diharapkan hingga tidak saling mengganggu/menghambat pencapaian tujuan masing-masing yang telah dirancang sesuai kebutuhan masing-masing peserta didik. Pada pergaulan sosial hendaknya anak luar biasa dapat bergabung dengan anak normal kecuali dalam situasi tertentu yang mengharuskan adanya pemisahan tersebut.

Undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan UU no 2 tahun1989 tentang Sisdiknas bab II ayat 5 menyatakan bahwa tiap warga Negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Berarti anak berkelainan atau luar biasa juga memiliki kesempatan yang sama dengan anak normal untuk memperoleh pendidikan. Selama ini sekolah untuk anak luar biasa terdiri dari :
a. Sekolah Luar Biasa (untuk anak berkelainan) yang dibagi atas SLB untuk anak tuna netra, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, dan tuna ganda.
b. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB):sekolah ini menampung berbagai jenis anak dengan berbagai kelainan hingga mungkin di dalamnya terdapat anak tuna netra, tuna rungu dan lainnya menjadi satu.
c. Pendidikan terpadu : sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran dan kegiatan belajar mengajar yang sama dengan anaik normal.

Pada umumnya lokasi SLB berada di kota kabupaten, sedangkan anak dengan kelainan tersebar bahkan di pelosok desa. Letak sekolah yang jauh maka menyebabkan banyak orangtua yang memiliki anak berkelainan tidak mampu menyekolahkan anaknya disebabkan alasan ekonomi. Bila dimasukkan di SD biasa terdekat maka biasanya pihak sekolah tidak mampu melayani, jika akhirnya diterima maka konsekuensinya anak tersebut akan sering tinggal kelas karena keterbatasannya untuk mengikutui pelajaran seperti anak normal lainnya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka melalui UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 15 tentang pendidikan khusus dijelaskan bahwa Pendidikan Khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselengarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Melalui pendidikan inklusif anak berkelainan di didik bersama-sama anak normal lainnya untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan secara formal yang ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia Tentang Pendidikan berkelainan pada Juni 1994 bahwa “ Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang mungkin ada pada mereka”


Landasan Pendidikan Inklusi :

a. Landasan Filosofis : landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila. Filsafat Pancasila mengakui akan keberadaan manusia dari berbagai segi termasuk keberagamannya karena keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki.
b. Landasan Yuridis: secara internasional penerapan pendidikan inklusi adalah dengan adanya deklarasi Salamanca (UNESCO,1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini merupakan penegasan dari Deklarsi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang bermuara pada Peraturan Standar PBB tentang HAM 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada.
c. Landasan Pedagogis : Pada pasal 3 UU No 20 tahun 2003 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Jadi melalui pendidikan peserta didik berkelainan dibentuk menjadi manusia yang bertanggung jawab, demokratis yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal merka diisolasi dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus.
d. Landasan empiris : penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di berbagai Negara sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy of Science (USA). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelaian di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.




III. Pendidik.
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran dan latihan serta masyarakat.

Orang dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh sifat umum kepribadian orang dewasa, sebagaimana dikemukakan oleh Syaifullah adalah sebagai berikut :
1. Manusia yang memiliki pandangan hidup prinsip hidup yang pasti dan tetap.
2. Manusia yang telah memiliki tujuan hidup atau cita-cita hidup tertentu, termasuk cita-cita untuk mendidik.
3.Manusia yang cakap mengambil keputusan batin sendiri atau perbuatannya sendiri dan yang akan dipertanggungjawabkan sendiri.
4.Manusia yang telah cakap menjadi anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh inisiatif.
5. Manusia yang telah mencapai umur kronologis paling rendah 18 tahun.
6. Manusia berbudi luhur dan berbadan sehat.
7. Manusia yang berani dan cakap hidup berkeluarga.
8. Manusia yang berkepribadian yang utuh dan bulat.

Selain itu seseorang dapat dikatakan pendidik bila :
• Memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dibuktikan dengan ijazah yang dimilikinya.
• Memiliki wawasan dan keterampilan tinggi yang dibutuhkan sesuai dengan bidang ajarnya.
• Menguasai ilmu kependidikan.
• Memiliki kompetensi keilmuan memadai.
• Memiliki integritas kepribadian yang baik (perilakunya dapat dijadikan contoh)

IV. Kurikulum.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Departemen Pendidikan Nasional, UU No. 20 thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Pengertian kurikulum di atas mengandung arti bahwa kurikulum itu memiliki tujuan/sasaran tertentu. Setelah tujuan/sasaran itu jelas, barulah mendesain metode pembelajaran yang menunjang proses pembelajaran tersebut.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kurikulum ialah suatu patokan rencana-rencana dalam hal penyelenggaran pembelajaran yang memiliki tujuan dan cita-cita tertentu yang berlandaskan pada pengalaman-pengalaman pembelajaran sebelumnya, yang bersifat flexible (dapat mengalami-mengalami perbaikan) dan didesain oleh sekolah agar murid-murid itu memiliki representasi fungsi langsung di masyarakat. Dalam hal ini dapat dimungkinkan bila kegiatan pembelajaran yang dilakukan sekolah itu tidak harus dilakukan di sekolah, dan tidak terbatas pada akademis semata, pendidikan karakter, watak, dan tingkah laku juga seharusnya masuk dalam kurikulum. Seperti ada sekolah yang mengadakan program terjun langsung ke masyarakat, dengan menginap beberapa hari di pedesaan terpencil, penggemblengan kepribadian dengan studi wisata ke laut dengan kerjasama pihak marinir yang didalamnya mengandung pendidikan watak, tingkah laku, dan agamais, serta pesantren ketika ramadhan yang didesain tidak mem-BT-kan tetapi justru menyenangkan. Selain itu hendaknya ada bagian pengembangan kurikulum di setiap sekolah yang benar-benar berkonsentrasi mengembangkan kurikulum hingga tercapainya tujuan pendidikan.




V. Lingkungan Pendidikan ( tempat di mana pendidikan berlangsung)
Merupakan suatu tempat di mana suatu pendidikan dilaksanakan. Jika pendidikan dilakukan oleh keluarga maka keluarga merupakan tempat atau lingkungan berlangsungnya pendidikan yang dilakukan oleh suatu keluarga. Sedangkan bila pendidikan dilakukan di sekolah maka sekolah merupakan lingkungan pendidikan bagi peserta didik.

VI. Interaksi Edukatif (interaksi yang terjadi antara peserta didik dan pendidik).

Pada dasarnya interaksi yang berlangsung merupakan komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif.

VII. Alat Pendidikan.

Alat pendidikan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan oleh pendidik yang bertujuan untuk melaksanakan tugas mendidik Penggunaan alat pendidikan itu bukan hanya soal teknis, melainkan mempunyai sangkut paut yang erat sekali dengan pribadi yang menggunakan alat tersebut. Pendidik yang menggunakan alat itu hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan tujuan yang teerkandung dalam alat itu. Penggunaan dan pelaksanaan alat itu hendaknya betul-betul timbul atau terbit dari pribadi yang menggunakan alat itu (pendidik).

Untuk memilih alat-alat pendidikan yang baik dan sesuai harus memperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan alat itu.
2. Siapa (pendidik) yang menggunakan alat itu.
3. Anak (si terdidik) yang mana yang dikenai alat itu.
4. Bagaimana menggunakan alat tersebut.

Adapun alat-alat pendidikan yang biasa digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pembiasaan.
Pengertiannya di sini adalah menanamkan kebiasaan pada peserta didik agar dapat membentuk watak baik bagi mereka. Agar hasilnya optimal maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Mulailah pembiasaan ini sebelum terlambat, jadi sebelum anak itu memiliki kebiasaan lain yang berlawanan dengan hal-hal yang akan dibiasakan.
b. Pembiasaan itu hendaknya berulang-ulang atau terus menerus dijalankan secara teratur hingga akirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Karena hal inilah dibutuhkan adanya pengawasan.
c. Pendidikan hendaknya konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendirian yang telah diambil. Jangan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melanggar pembiasaan yang telah ditetapkan.
d. Pembiasaan yang mulanya mekanistis itu harus makin menjadi pembiasaan yang disertai kata hati peserta didik itu sendiri.
2. Pengawasan.
Pembiasaan yang baik memerlukan pengawasan. Demikian pula aturan-aturan dan larangan-larangan dapat berjalan dan ditaati dengan baik jika disertai dengan pengawasan yang terus menerus. Tanpa pengawasan berarti membiarkan peserta didk untuk berbuat sekehendak hatinya hingga ditakutkan bila mereka menjadi manusia yang tidak dapat membedakan baik-buruk, pantas-tidak, boleh dilakukan-tidak boleh dilakukan dan hal-hal sejenis itu.

Pengawasan hendaknya makin dikurangi intensitasnya sejalan makin tumbuhnya kedewasaan peserta didik. Makin dewasa peserta didik mulai diberikan kebebasan, karena pada dasarnya tujuan mendidik adalah membentuk anak agar akhirnya dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas hal-hal yang telah diperbuat.


3. Perintah.
Perintah pada prinsipnya bukan hanya apa yang keluar dari mulut seseorang dan harus dikerjakan oleh orang lain tetapi juga berupa peraturan-peraturan umum yang haarus ditaati oleh peserta didik. Tiap peraturan dalam pendidikan mengandung norma-norma susila jadi bersifat memberi arah atau mengandung tujuan ke arah perbuatan susila. Agar perintah dapat ditaati maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
• Perintah hendaknya jelas dan singkat hingga mudah dimengerti peserta didik.
• Perintah hendaknya disesuaikan dengan kesanggupan peserta didik berdasarkan kemampuan dan tingkat usia.
• Sekali waktu perlu mengubah nada perintah menjadi permintaan terutama kepada anak yang lebih besar.
• Diupayakan untuk tidak melebih-lebihkan perintah agar tidak ditentang oleh peserta didik.
• Pendidik hendaklah konsekuen terhadap apa yang telah diperintahkan, artinya perintah berlaku untuk semua peserta didik.
• Perintah yang bersifat mengajak umumnya lebih ditaati dan dilaksanakan dengan gembira oleh peserta didik.

4. Larangan.
Larangan biasanya dikeluarkan bila peserta didik melakukan sesuatu yang tidak baik hingga dapat merugikan dan membahayakan dirinya sendiri.
5. Ganjaran.
Ganjaran adalah bentuk penghargaan dari pendidik karena peserta didik telah melakukan sesuatu yang baik, hingga diharapkan lebih giat untuk mempertinggi atau mencapai prestasi yang telah dicapai. Ganjaran dapat berupa bahasa tubuh atau mimik wajah dari pendidik yang menunjukkan apresiasi terhadap hal positif yang telah dilakukan peserta didik. Bahkan dapat pula berupa benda-benda yang menyenangkan seperti : kembang gula, alat tulis dan lainnya.

Yang harus di perhatikan adalah : ganjaran itu berbeda dengan upah. Upah merupakan sesuatu yang dihargai dengan nilai sebagai ganti rugi dari suatu pekerjaan atau jasa. Upah adalah sebagai pembayar tenaga, pikiran, atau pekerjaan yang telah dilakukan oleh seseorang. Besar kecilnya upah biasanya disesuaikan dengan berat ringnnya suatu pekerjaan atau sedikit banyaknya hal yang telah dicapai.

6. Hukuman.
Hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orangtua, pendidik, dan lainnya)setelah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan, hubungan harus disesuaikan dengan kepribadian anak dan harus diberikan dengan adil. Pendidik harus sanggup memberikan maaf setelah hukuman dijalankan.

Syarat-syarat hukuman yang pedagogis adalah :
a. Tiap hukuman hendaklah dapat dipertanggungjawabkan.
b. Hukuman hendaknya bersifat memperbaiki.
c. Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau balas dendam.
d. Jangan menghukum bila pendidik sedang marah.
e. Tiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan terlebih dulu.
f. Hukuman hendaknya dapat dirasakan hingga timbul penyesalan.
g. Diupayakan tidak melakukan hubungan fisik.
h. Hukuman tidak boleh merusak hubungan baik antara pendidik dan peserta didik, makanya hukuman hendaknya dimengerti dan difahami.
i. Kesanggupan pendidik untuk memberi maaf setelah hukuman dilakukan.


B. Alat Pengajaran.

Merupakan alat bantu / media yang digunakan guru sebagai pendidik untuk mempermudah peseerta didik memahami materi yang disampaikan karena disajikan dengan menarik dibantu oleh media / alat pengajaran yang disediakan oleh guru secara inovatif dan kreatif.

C. Perbedaan Antara Alat Pendidikan Dengan Alat Pengajaran.

Pada dasarnya alat pengajaran adalah media yang digunakan untuk membantu tugas pendidik untuk menyajikan materi agar lebih menarik dan mudah dimengerti oleh peserta didik, contohnya : penggunaan gambar-gambar.

Sedangkan alat pendidikan adalah : segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan oleh pendidik yang bertujuan untuk melaksanakan pendidikan seperti: ganjaran, hukuman, dan lain-lain seperti yang telah dibahas di atas.
.




BAB III
PENUTUP

Pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan akhir agar dapat menciptakan manusia unggul secara moral, integritas pribadi, agama maupun intelektual agar dapat bersaing dengan bangsa lain di era globalisasi.

Dengan uraian yang telah kami kemukakan semoga dapat membuka wawasan bagi kita semua yang concern terhadap dunia pendidikan bagaimana kita sebagai pendidik dapat berperan maksimal karena telah mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan walau belum secara luas dan bagaimana seharusnya kita berperan sebagai pendidik agar dunia pendidikan lebih maju di masa depan hingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang unggul di segala hal yang bersifat positif.







DAFTAR PUSTAKA

Purwanto, Ngalim, Drs.MP,2009, Ilmu Pendidikan Toritis Praktisi, Bandung: Rosda
Tirtaraharja, Umar, Prof Dr, 2005, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta


Semoga Bermanfaat......