Pendidikan Segregatif, Integratif dan Inklusif

Disusun Oleh : Nouval, Neni Kurnianingsih dan Yuni Lestari

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah diperuntukan untuk setiap warga Negara yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dam jenis pendidikan tertentu. Seperti yang tertulis dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5, secara jelas mendeskripsikan hak dan kewajiban Warga Negara . Adapun isi dari pasal tersebut adalah:
1. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau social berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga Negara behak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa warga Negara tidak terkecuali warga Negara yang memiliki kelainan fisik dan keterbelakangan mental memiliki hak yang sama dengan warga Negara yang lain.
Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan local, nasional, global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Pendidikan untuk warga Negara yang memiliki kekurangan secara fisik dan mental membutuhkan penanganan yang lebih intensif oleh pemerintah dan pihak yang berkecimpung dalam pendidikan. Dengan keterbatasannya, mereka yang mempunyai disability kurang sering dilihat berbeda dari manusia lainnya. Untuk itu dengan dasar kemanusiaan, sebagai pendidik berkewajiban membantu mereka dalam hal memperoleh pendidikan yang sama. Dengan demikian pendidik harus menentukan metode yang tepat bagi mereka sehingga mereka dapat memperoleh pendidikan secara baik, agar supaya dapat hidup bermasyarakat dan mengembangkan potensi dirinya.
Dalam kaitannya dengan metode pendidikan yang baik untuk mereka yang mempunyai kekurangan, secara fisik ataupun mental maka pembahasan kelompok kami meliputi Pendidikan Integratif, Inklusif, dan Segregatif. Dengan demikian diharapkan dengan mengetahui metode-metode pendidikan tersebut selaku pendidik kita mengetahui dan mampu untuk mengajarkan anak didik yang mempunyai disability kurang dan juga tidak terlepas dari anak didik lainnya.

B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak.
Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Tuna Netra
2. Tuna Rungu
3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)
4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)
5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)
6. Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).
7. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)
8. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )
9. Autis
10. Korban Penyalahgunaan Narkoba
11. Indigo
C. Visi dan Misi perkembangan sekolah luar biasa
 Visi:Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak kebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
 Misi:Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program segregasi ,terpadu dan inklusi.
 Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan ,pengalaman ,atau keterampilan yang memadai.



II. LANDASAN,TUJUAN DAN FUNGSI PENDIDIKAN BAGI SISWA DISABILITY

1) LANDASAN PENDIDIKAN
a. Landasan Filosofi &Religi
Wujud kebhinekaan manusia secara horizontal ditandai dengan adanya kebhinnekaan ras, agama, budaya, bahasa dan sebagainya.keberadaan individu disability sebagai wujud kebhinekaaan secara vertical dibidang intelektual. Individu disability seperti halnya individu-individu yang lain juga untuk mengemban misi yang sama yaitu membangun kehidupan yang lebih baik. Karenanya mereka memerlukan pendidikan khusus, yaitu pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan individualnya.
b. Landasan pengetahuan ilmiah
 Landasan psikologi
Individu yang mengalami kesulitan belajar, kesulitan berfikir, dan kesulitan dalam adaptasi social. Hal tersebut disebabkan adanya gangguan pada fisik ataupun mental. Setiap disability memiliki perbedaan yang sangat beragam sehinggs perlu diklasifikasi
 Landasan peadagogis
Intelektual masing individu disability secara significant berada di bawah rata-rata dengan kemampuan yang sangat beragam sehinggs mereka memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus dengan program yang diindividualisasikan sesuai kemampuan masing-masing individu/kelompok.
 Landasan sosiologis
Melalui program pendidikan dan pelatihan yang diindividualisasikan disability ringan maupun sedang dapat mengembangkan diri dan dapat melakukan fungsi sosialnya secara wajar di masyarakat. Sesuai dengan kemampuannya. Mereka perlu mendapatkan pendampingan/advokasi dan memerlukan bantuan social untuk meningkatkan taraf hidupnya.
c. Landasan hokum dan perundang-undangan
 Undang-undang RI Nomor 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, pasal 32. Ayat 1, berbunyi:
“pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa.dengan undang-undang tersebut maka anak-anak pada umumnya memiliki kesamaan kesempatan untuk serendah-rendahnya dapat mengikuti pendidikan dasar Sembilan tahun.
 Undang-undang RI Nomor4/1997 dan peraturan pemerintah Nomor 43 tentang upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat, berbunyi:
“upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat, dilaksanakan melalui:
 Kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
 Rehabilitasi medic, social, edukasional dan vokasional
 Bantuan social diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan social
 Pemeliharaan taraf kesejahteraan social diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang cacat dapat memperolh taraf hidup yang wajar.
2) Tujuan pendidikan
Pendidikan luar biasa bertujuan membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental, dan/atau kelainan perilaku agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbale balik dengan lingkungan social budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Selain itu dalam undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional, pasal 32 ayat 1 berbunyi: pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fifik, emotional, mental, social dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa.
3) Fungsi pendidikan
 Melalui pendidikan disability memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensinya dengan memperoleh kesempatan untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuanyya.
 Dapat mengembangkan kemampuanyya untuk berkomunikasi yaitu membina hubungan dengan orang lain melalui lisan, tulisan maupun perbuatan, sesuai kemampuannya.
 Dapat turut bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan sesuai kemampuanya secara wajar.
 Memperoleh pengakuan sebagai anggota masyarakat dapat berkesempatan untuk berperan di masyarakat.
III. LAYANAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
Layanan pendidikan di sekolah luar biasa(SLB) lebih bersifat formal
a. Kurikulum yang digunakan
Kurikulum yang digunakan cenderung bermuatan akademik yang bersifat formal. Isi kurikulum belum banyak menyentuh kebutuhan dan hambatan belajar peserta didik disability, sehingga kurikulum seperti ini kecil kemungkinannya untuk mengembangkan potensi mereka secara optimal. Selama ini guru cenderung menggunakan kurikulum sebagai patokan utama dalam melakukan pembelajaran dan belum mempertimbangkan hambatan belajar, hambatan perkembangan, dan kebutuhan disability secara individual.
b. Pendekatan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran dilakukan kebanyakan guru lebih bersifat formal, berpusat pada kurikulum dan pada guru, belum memperhatikan perbedaan perkembangan dan hambatan belajar peserta didik disability secara individual.dalam proses pembelajaran sebagian besar guru cenderung lebih banyak member perintah dan larangan, sangat jarang member penghargaan ketika disability dapat melakukan sesuatu yang positif sekecil apapun.
c. Penilaian hasil belajar
Para guru cenderung mengatakan hasil pembelajaran adalah penguasaan bahan pelajaran oleh disability melalui ujian atau tes yang dinyatakan dalam bentuk angka. Penilaian tersebut belum dapat mengungkapkan seluruh perkembangan yang terjadi pada diri disability sebagai hasil belajar.
IV. PENDIDIKAN SEGREGATIF
1. Hakikat Pendidikan segregatif
Sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal.
Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas.
2. Fasilitas dan sarana Pendidikan segregatif
- Tersedia alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Sebagai contoh tunanetra, seperti buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul, dll.
- Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang sehingga guru dapat memberikan layanan individual kepada semua siswa.
- Lingkungan sosial ramah karena sebagian besar memiliki pemahaman yang tepat mengenai disability anak.
- Lingkungan fisik aksesibel karena pada umumnya dirancang dengan mempertimbangkan masalah mobilitas disability, dan kami mendapat latihan keterampilan orientasi dan mobilitas, baik dari instruktur O&M maupun tutor sesama disability.
- Dapat menemukan orang disability yang sudah berhasil yang dapat dijadikan sebagai model.

3. KATEGORI
kategori kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi :
(1) SLB bagian A untuk anak tuna netra
(2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu
(3) SLB bagian C untuk anak tuna Grahita
(4) SLB bagian D untuk anak tuna daksa
(5) SLB bagian E untuk anak tuna laras
(6) dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda
4. Bentuk-bentuk system pendidikan segregasi:
 Sekolah Luar Biasa
 Sekolah Dasar Luar Biasa
 Kelas Jauh/Kelas Kunjung
 Sekolah Berasrama
 Hospital School
V. PENDIDIKAN INTEGRATIF
1. Hakikat Pendidikan Integratif
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak anak dengan disability kurang, belajar bersama anak normal, tetapi mereka tidak memperoleh pelayanan pendidikan secara memadai atau mereka tidak mendapatkan sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya sumber daya manusia dan banyak tenaga ahli yang belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang anak dengan disability kurang atau rasio penyelenggaraan yang sangat mahal, sehingga masih sedikit sekolah yang mau menerima mereka karena berbagai alasan diatas. Menyelenggarakan pendidikan integrasi disekolah merupakan kemajuan yang baik, tetapi tidak semudah membalikkan tangan. Namun kita harus berani memulai supaya anak dengan disability kurang mendapat tempat dan penanganan yang terbaik.
Konsep pendidikan integratif memiliki penafsiran yang bermacam-macam antara lain:
• Menempatkan anak dengan disability dengan anak normal secara penuh
• Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi, jasmani, intuisi
• Mengintegrasikan pendidikan anak autisme dengan pendidikan pada umumnya
• Mengintegrasikan apa yang dipelajari disekolah dengan tugas masa depan
• Mengintegrasikan manusia sebagai mahluk individual sekaligus mahluk social
2. Perkembangan system sekolah untuk anak dengan disability
Menjelang pertengahan tahun 1970 an, kebanyakan sistem sekolah telah menciptakan sekolah khusus yang terpisah untuk anak anak-anak yang mempunyai disability. Masing-masing sekolah melayani satu jenis disability: biasanya intelektual, fisik, visual atau pendengaran. Dan masih ada pembagian lebih lanjut berdasarkan atas tingkat disability intelektual, atau untuk anak-anak yang mempunyai kesulitan pendengaran, pendekatan pengajaran. Pengembangan system sekolah khusus terpisah berdasarkan atas pemahaman bahwa setiap anak yang mempunyai disability akan memperoleh manfaat pada lingkungan terpisah dimana secara teoritis paling tidak dapat menyediakan kelas kecil dan pengajaran dan peralatan khusus.
Lebih dari 20 tahun terakhir, terdapat gerakan yang kuat menuju pendidikan siswa dengan kebutuhan khusus pada sekolah regular. Pendidikan ini tidak lepas kaitannya dengan proses integrasi, inklusi mainstreaming dan normalisasi. Dalam hal ini siswa yang mempunyai disability akan menggunakan fasilitas pendidikan khusus yang sama dengan yang digunakan oleh siswa yang tidak mempunyai disability.
Pendidikan tersebut didasari oleh tiga alasan utama:
1. Riset telah menunjukan dengan jelas bahwa sekolah khusus yang terpisah menghasilkan hasil pembelajaran social atau akademis yang lebih baik dari pada lingkungan terintegrasi, terutama untuk siswa yang mempunyai disability sedang.
2. Terdapat riset yang menunjukan bahwa anak-anak dapat memperoleh manfaat dari model sekolah inklusif, meskiun mereka mempunyai disability yang parah dan berganda.
3. Terdapat penerimaan yang luas mengenai hak semua orang untuk berpartisipasi sepenuhnya di dalam masyarakat mainstream jika mereka mmemilih untuk melakukannya.
Konsekuensi dari perubahan-perubahan tersebut adalah bahwa beberapa siswa yang mungkin sebelumnya menghabiskan seluruh waktu sekolahnya dalam lingkungan yang terpisah, sekarang akan mempunyai kelas regular. Oleh karena itu merupakan hal yang penting bahwa guru kelas regular merasa berkopeten untuk mengajar semua siswa yang berada di bawah tanggung jawab mereka. Mereka harus berbangga hati dalam melayani masyarakat mencakup orang-orang yang mempunyai cacat dan yang tidak cacat.
3. Pendidikan Integratif
c. Istilah integrasi
Istilah yang luas untuk merujuk pada bersekolahnya seorang anak pada sekolah regular. Dapat diartikan pada proses memindahkan seorang siswa pada lingkungan yang tidak terlalu terpisah. Seseorang anak yang bersekolah pada sekolah regular, tetapi berada pada unit atau kelas khusus. Meskipun siswa tersebut berada pada kelas khusus , jelas bahwa apabila kelas tersebut pada sekolah regular, peluang untuk berinteraksi dengan anggota lain masyarakat sekolah secara umum jauh lebih besar dari pada anak yang berada pada sekolah khusus yang terpisah.
Banyak sekolah yang mempunyai kelas khusus mempunyai program khusus untuk mendorong interaksi antara siswa dengan dan tanpa kebutuhan pendidikan khusus. Misalnya, pada beberapa sekolah, anak-anak menghabiskan pagi harinya pada kelas khusus dan siangnya pada kelas regular. Para guru dan asisten dari kelas khusus biasa mendukung penempatan pada kelas khusus. Peluang-peluang bagi interaksi tersebut, berdasarkan atas prinsip normalisasi. Jauh mungkin untuk terjadi apabila anak tersebut diintegrasikan pada sekolah reguler.
d. Tehnik Perencanaan Integratif
Mengintegrasikan anak disability dengan anak normal secara penuh harus dengan suatu konsep, perhitungan yang matang dan kerja keras.Kebanyakan sekolah juga belum memiliki jawaban yang baik untuk saat ini. Yang ada orang tua dan guru-guru sekolah harus bekerja sama, bersikap terbuka, selalu komunikasi untuk membuat perencanaan penanganan dengan tehnik terbaik.
Langkah-langkah penerimaan oleh sekolah:
• Tentukan jumlah anak disability yang akan diterima misal, dua anak dalam satu kelas dan lain-lain.
• Lakukan tes untuk melihat kemampuan serta menyaring anak
• Setelah tes, wawancara orang tua untuk melihat pola pikirnya, apa tujuan memasukkan anak ke sekolah.
• Buatlah kerangka kerja dan hasil observasi awal.
• Susun bagaimana mengatur evaluasi anak dalam hal: siapa yang
bertanggung jawab mengawasi, menerima complain, periode laporan perkembangan dan lain-lain.
• Buatlah kesepakatan antara orang tua dan sekolah bahwa hasil yang dicapai adalah paling optimal.
Parameter Apakah Yang Dapat Membantu
NO EVALUASI A B C
Akademis
1 Berhitung 1-10, 1-20 baik dengan atau tanpa papan, irama dan dan ketukan wajar, maju dan mundur
2 Mampu mengidentifikasi dan menulis angka
3 Mengenal semua bentuk dengan cepat
4 Mengenal warna dengan cepat
5 Mampu mengenal semua bentuk huruf dengan cepat
6 Mampu mendeskripsikan suatu topik tunggal / sederhana
7 Mampu menggambarkan sederhana
8 Mampu mengingat 2-3 digit, membedakan benda yang sejenis
9 Mampu memilih obyek dan gambar yang hampir sama
10 Mampu mengenal simbol-simbol sederhana
11 Bahasa yang dia pakai dapat kita mengerti atau sebaliknya
12 Mampu membedakan arak kiri, kanan, atas, dan bawah
13 Memberikan jumlah yang kita minta antara 1-9
Ketrampilan sosial dan tingkah laku
1 Prilaku kontrol diri dalam lingkungan
2 Kontak mata
3 Perhatian dan Konsentrasi
4 Kemampuan Mendengarkan
5 Diam dan Menunggu
6 Berbagi giliran dengan teman
7 Berkunjung ( Visiting)
8 Mengirim Pesan sederhana
9 Menjawab Pertanyaan sederhana yang berhubungan dengan identitas dirinya
10 Merespon perintah sederhana yang familiar dan sering digunakan dalam aktivitas sehari- hari
11 Mengenal orang dan tempat yang familiar
Keterampilan Berkomunikasi
1 Kemampuan dasar berinisiatif
2 Mampu mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan dasar anak
3 Menyatakan ya atau tidak yang berhubungan dengan pribadi anak
4 Kemampuan memilih
Pelaksanaan Aktivitas sehari-hari
1 Toilet raining
2 Makan dengan sendok dan garpu
3 Mampu memakai celana, jaket, baju, sepatu tanpa bantuan
4 Mengancingkan baju
5 Merawat dan memperhatikan barang sendiri
6 Mandi dan menggosok gigi

Keterangan:
A: Mampu / Mandiri/ excellent
B: di arahkan/ dibantu minimal
C: di bantu penuh

Jika anak kita (Autis) menguasai ketrampilan antara
- A = 25 < 34 Termasuk anak yang ringan (mild)/High Function
- A = 15 < 24 Termasuk anak yang sedang/sedang (Severed)
- A Kurang dari 15 Termasuk anak yang berat (Low Function)

Dengan parameter diatas kita akan mampu mengidentifikasi anak-anak dengan lebih akurat, bukan menitik beratkan pada berat dan ringan kondisi anak, akan tetapi untuk memudahkan pihak-pihak yang bersangkutan dan orang tua agar mengerti apa yang harus dilakukan, guru mampu membuat program dengan akurat untuk anak, lembaga dapat menyeleksi anak sesuai kapasitas dan kebutuhan.



Untuk mengintegrasikan anak ini ada hal-hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan:
• Seberapa besar gangguan/kekacauan yang dapat timbul karena anak autis ini.
• Berapa persentase dari kurikulum yang dapat digunakan dan dijangkau oleh anak autis.
• Seberapa siap tenaga ahli/guru menangani dan mengelola kelas yang di dalamnya terdapat anak autis
e. Pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia
Sistem Pengajaran
a) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas.
Sekarang ini banyak siswa disability yang mendapatkan program pelayanan pendidikan terpadu secara penuh, dimana siswa disability belajar di kelas biasa dan ditangani sepenuhnya oleh guru kelas serta masing-masing guru bidang studi. Sistem ini hanya dapat diikuti oleh siswa disability yang memiliki intelegensi di atas rata-rata.
b) Belajar di kelas biasa dengan guru kelas dan seorang guru pembimbing khusus.
Siswa disability belajar di kelas biasa dengan guru kelas yang didampingi oleh guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus dapat berasal dari kalangan guru PLB tetapi dapat pula dari tenaga ahli di bidangnya.
c) Belajar di kelas biasa dengan guru kunjung
Guru kunjung biasanya menangani siswa disability yang belajar pada beberapa sekolah. Fungsinya hanya memberikan saran-saran kepada guru kelas atau guru bidang studi.
d) Belajar di sekolah umum dengan kelas khusus
Siswa disability belajar di sekolah umum tetapi belajar di kelas yang khusus (terpisah dengan siswa normal lainnya).
e) Belajar dalam satu lokasi sekolah dengan berbagai macam ketunaan.
Siswa disability bersama dengan siswa yang memiliki kebutuhan khusus lainnya belajar dalam satu gedung sekolah yang sama.
f. HAMBATAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN TERPADU

Di beberapa daerah di Indonesia, banyak sekolah umum yang tidak mau menerima siswa tuna netra untuk belajar di sekolah tersebut dengan alasan tidak adanya surat keputusan dari pemerintah yang menyatakan bahwa sekolah tersebut harus menerima siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
Sesuai surat keputusan Kepala Kanwil Depdiknas Propinsi DKI Jakarta No.31/101.B2/LL/1999 tanggal 23 April 1999 ditunjuklah beberapa sekolah umum di DKI Jakarta menjadi sekolah terpadu. Pada kenyataannya, banyak Kepala Sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah terpadu merasa keberatan dengan penunjukan tersebut. Alasannya sekolah mereka tidak akan mendapatkan nilai plus dengan kehadiran siswa yang berkebutuhan khusus di sekolah mereka. Kepala sekolah juga merasa bahwa dengan penunjukan tersebut akan menurunkan nilai kinerja sekolah, sementara nilai kinerja sekolah tersebut yang diperoleh melalui nilai akademis siswa merupakan dasar bagi penilaian akreditasi sekolah yang akan dilaksanakan mulai tahun ajaran 2002/2003 di seluruh sekolah negeri di Jakarta.
Penunjukan sekolah umum menjadi sekolah terpadu juga tidak disertai dengan sosialisasi anak berkebutuhan khusus kepada kepala sekolah beserta staff dan gurunya. Selain itu prasarana dan sarana penunjang pelayanan pendidikan terpadu juga tidak disediakan oleh pemerintah.

Penunjukan sekolah terpadu di Jakarta hanya ditujukan untuk SLTP dan SMU. Sedangkan untuk jenjang sekolah dasar belum ada penunjukan untuk sekolah terpadu.
Masih banyak anggapan di benak guru-guru di sekolah umum yang menyatakan bahwa mengajar anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah sesuatu yang remeh. Sehingga mereka akan merasa menjadi rendah apabila sekolah dimana tempat mereka mengajar dijadikan sekolah terpadu.
Surat Direktur Pendidikan Dasar No.0267/C2/U/1994 tanggal 30 Maret 1994 tentang penyelenggaraan pendidikan terpadu yang diberlakukan bagi beberapa jenis kecacatan akan tetapi memiliki kemampuan inteligensi normal atau di atas rata-rata menjadi kendala pula bagi pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia. Sebab dengan surat keputusan tersebut pihak sekolah umum dapat menolak siswa disability yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata, dengan demikian pelaksanaan pendidikan terpadu menjadi sangat terbatas hanya bagi siswa yang sangat pandai saja
VI. PENDIDIKAN INKLUSIF
1. Hakikat Pendidikan Inklusif
Sekolah Inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan Inklusif, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusif terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.
Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yng berusaha mentransformasi system pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh daam pendidikan.
Inklusif merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda bias berhasil dalam beljar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat. (LIRP buku 1).
Inklusif memang menikutsertakan anak berkelaian seperti anak yang memiliki kesulitan melihat atau mendengar, yang tidak dapat berjalan atau lebih lamban dalam belajar. Namun, secara luas inklusif juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti:
1. anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas.
2. anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan baik.
3. anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda.
4. anak yang terinfeksi HIV atau AIDS, dan
5. anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah.
Prinsip-prinsip dasar pendidikan inklusif, yang membedakan dengan sistem integratif, apalagi segregatif adalah:
1. Semua anak, siapapun dia, memiliki hak untuk menempuh pendidikan di sekolah mana pun, dan sekolah wajib menerima murid, siapapun dia.
2. Setiap anak/murid adalah individu yang unik, olehkarenanya, sistem pendidikan harus dibuat fleksibel, memberikan kemungkinan pada guru untuk melakukan penyesuaian, guna mengakomodasikan kebutuhan khusus setiap siswa.
3. Sistem pendidikan dalam suatu negara harus dibuat satu sistem, dan sistem pendidikan untuk anak-anak yang menyandang kecacatan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan umum tersebut; bukan terpisah atau khusus.
Guru-guru di sekolah umum harus memiliki wawasan dan ketrampilan untuk mengajar siswa, siapa pun dia. Itu sebabnya, pendidikan/pelatihan untuk guru harus melakukan penyesuaian dengan sistem ini.
Inklusif berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk mengucapkan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak dari otoritas sekolah, masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lain-lain.
2. Pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1. Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
• Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
• Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
• Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak;
• Lebih terbuka (divergent)
• Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
• Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”! Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois. Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
• Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
• Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.

3. Mainstreaming
Seorang siswa mengalami mainstream ketika dia terdaftar pada atau bersekolah pada kelas khusus. Siswa berada pada kelas khusus yang berintegrasi di pagi hari, dan bersekolahsebagaimana biasa(mainstream) di sore hari. Mainstreaming secara umum dianggap sebagai penempatan yang paling normatife secara cultural.
a) Implmentasi
 Mainstreaming
 Kelas khusus dan kelas normal bergabung membentuk kelas yang sepenuhnya berinteraksi
 Masing-masing siswa mempunyai status yang sama sebagai anggota kelas
 Lingkungan sesuai dengan usia
 Kurikulum dibuat untuk mengakomodasikan berbagai kecepatan belajar
 Rasio staff adalah tepat: staff yang bekerja akan bekerja pada kelas regular dengan guru kelas untuk melayani kbutuhan semua anak-anak di kelas tersebut termasuk yang mempunyai disability intelektual.
 Integrasi lain
 Disamping kelas normal, terdapat program integrasi untuk semua siswa
 Kelas yang akan distreaming harus sesuai dengan usia agar supaya memberikan interaksi yang maksimum.
 Bidang-bidang kurikulum ditentukan oleh staf yang berpartisipasi
 Interaksi pada social, incidental, dan direncanakan ditempat bermain , ditempat pertemuan, di ruang kelas, melalui system pertemanan.
 Evaluasi
Evaluasi terprogram. Data dikumpulkan dari staff, orang tua, personil yang terlibat dan siswa. Mencakup laporan anekdot, kwisioner dan wawancara.
 Evaluasi Penempatan
Siswa yang terlibat pada program normal dan parsial yang kemajuannya dimonitor melalui pelaporan anekdot, sampling kerja dan pengamatan oleh professional yang terlibat dan orang tua. Penempatan flexible, dengan pendidikan dan kesejahteraan siswa merupakan factor penting.

4. Normalisasi
Normalisasi merupakan suatu konsep keadilan social yang telah membentuk dasar dari kebijakan pendidikan khusus dari kebanyakan system sekolah. Konsep normalisasi mencakup kepercayaan bahwa orang-orang berhak untuk menjalani gaya hidup senormal mungkin didalam masyarakat mereka. Prinsip normalisasi menunjuka bahwa semua anak-anak harus mempunyai peluang untuk bersekolah di dekat rumah, dengan cara yang sama dengan anak-anak yang tidak mempunyai disability.

5. Hal-hal yang harus diperhatikan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
• Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keaneka-ragaman dan menghargai perbedaan.
• Sekolah harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual
• Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
• Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
• Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.
A. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KPENDIDIKAN SEGREGATIF
 Keuntungan system pendidikan segregasi:
• Rasa ketenangan pada anak luar biasa
• Komunikasi yang mudah dan lancar
• Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak.
• Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa
• Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner.
• Sarana dan prasarana yang sesuai.
• Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan
• Dapat mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal
• Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal
• Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi
• Harga diri anak luar biasa meningkat
• Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar
• Guru lebih mudah untuk merencanakan dan melakukan pembelajaran karena siswanya homogen
• Siswa tidak menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal
 Kelemahan system pendidikan segregasi:
• Sosialisasi terbatas
• Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal
• Bebas bersaing
• Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan.
• Efektif dan efisien untuk kepentingan individu
• Menumbuhkan disintegrasi
• Tidak terikat
• Mahal dan butuh fasilitas banyak Spesifik dan spesialis
• Memperlemah persatuan nasional
• Potensial untuk pengembangan otonomi
A. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KPENDIDIKAN INTEGRATIF
Dibandingkan dengan sistem segregatif, sistem integrasi ini merupakan suatu kemajuan, yaitu:
1. Siswa disability dapat belajar bersama-sama dengan siswa yang tidak disability. Ini berarti ada proses sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara siswa disability dan yang tidak disability, begitu pula sebaliknya. Ini akan berdampak pada pertumbuhan sikap siswa-siswa tersebut, yang akan bermanfaat pula kelak jika mereka telah dewasa.
2. Siswa disability mendapatkan suasana yang lebih kompetitif, karena di sekolah umum ada lebih banyak siswa dibanding SLB.
3. Siswa disability dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik.
4. Siswa disability dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya, asal ia memenuhi persyaratan yang diminta; jadi tidak perlu terpisah dari keluarga mereka.
5. Dari sisi kurikulum, dengan menempuh pendidikan di sekolah umum, disability akan mendapatkan materi pelajaran yang sama dengan siswa yang tidak disability.
Kelemahan dari sistem integrasi ini adalah siswa disability harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Pada saat-saat tertentu, kondisi ini dapat menyulitkan mereka. Misalnya, saat siswa diwajibkan mengikuti mata pelajaran ”menggambar.” Karena memiliki hambatan penglihatan, tentu saja siswa disability tidak bisa ”menggambar.” Tapi, karena mata pelajaran ini wajib dengan kurikulum yang ”ketat”, ”tidak fleksibel,” tidaklah dimungkinkan bagi guru maupun siswa disability untuk melakukan ”adaptasi atau subsitusi” –untuk mata pelajaran ”menggambar” tersebut. Yang dimaksud substitusi adalah menggantikan maa pelajaran tersebut dengan tugas lain yang memiliki nilai kompetensi sama. Misalnya, menggambar adalah mata pelajaran yang melatih kreatifitas otak kanan untuk bidang visual; bisa digantikan dengan tugas lain yang memiliki tujuan kompetensi sama tau setara, misalnya mengarang
1. Terhindar dari kesenjangan
2. Persaingan sangat kecil
3. Kerjasama dalam menghadapi persaingan global
4. Kurang efektif bagi kepentingan individu
5. Murah dan hemat penggunaan fasilitas
6. Terikat sehingga menghambat perkembangan individu
7. Mudah dikontrol karena homogen
8. Merugikan individu yang produktif
9. Mutu pendidikan homogen
10. Pembelajaran monoton
11. Menghargai hak asasi manusia
12. Bersifat sentralisasi , sulit berkembang
13. Memperkuat persatuan nasional
14. Sangat menguntungkan bagi siswa yang memiliki kekurangan
B. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KPENDIDIKAN INKLUSIF
 Keuntungan system pendidikan Inklusif:
Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing.
 Kendala / Kelemahan
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
V. KESIMPULAN
Dengan adanya sistem pendidikan integratif, Inklusif dan Segregatif, para siswa yang mempunyai disability dapat menentukan alternative sistem yang tepat untuk mendapatkan haknya dalam memperoleh pendidikan. Sebagai pendidik, seharusnya berusaha untuk dapat mendidik para siswanya baik itu dengan disability ataupun yang tidak. Karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna.
Dikarenakan siswa tidak hanya membutuhkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat bergabung dalam masyarakat maka diperlukan sistem yang mengajarkan berinteraksi dengan teman-teman sebaya ataupun yang lain. Melalui sistem pendidikan Integrasi, para siswa disability dapat berinteraksi dengan teman sebaya dengan mengikuti kelas screaming setelah kelas khusus dipagi harinya. Dapat pula dengan cara meberikan kelas regular dalam sekolah umum, yang mana diharapkan setelah secara intensif diberikan pendidikan dengan sesama disability, mereka dapat berinteraksi dengan teman sebaya dalam lungkungan sekolah.
System pendidikan Inklusif lebih membantu siswa disability dalam proses pembelajarannya karena dengan menggabungkan siswa disability dengan siswa normal didalam suatu system pengajaran maka mereka akan terpacu untuk dapat mengikuti kemampuan teman-teman sekelasnya dan dapat dipastikan adanya interaksi social. Dalam sistem Inklusif peranan pihak sekolah terutama pendidik dituntut melakukan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
Pemerintah juga harus berperan aktif dalam menyediakan sarana dan prasarana guna mengembangkan potensi para pendidik agar dapat membantu siswa disability mengembangkan potensi yang dimilikinya sehingga dapat berinteraksi secara social dan pada akhirnya bermanfaat bagi umat manusia lainnya.

• Sistem segregatif ini berlangsung sangat lama, bahkan telah ada sebelum Louis Braille lahir. Kemudian, di pertengahan abad 20an, orang mulai melakukan evaluasi terhadap sistem ini. Beberapa kelemahan yang terdapat pada sistem segregatif ini adalah:
Mendirikan sekolah luar biasa membutuhkan biaya yang sangat mahal, karena semuanya harus serba khusus; sekolahnya khusus/tersendiri, dengan fasilitas tersendiri, berikut guru-guru khusus, dan hanya menampung satu jenis kekhususan atau kecacatan. Misalnya, SLB-A, hanya menerima siswa tunanetra; SLB-B, hanya menerima siswa tunarungu; SLB-C, hanya menerima siswa dengan gangguan kecerdasan; SLB-D, hanya menerima siswa dengan kecacatan tangan dan kaki.
Jumlahnya terbatas, hanya ada di kota-kota besar.
• Mengingat mahalnya SLB, pada umumnya Pemerintah hanya bisa mendirikan dalam jumlah yang terbatas, biasanya hanya di kota-kota besar. Akibatnya, siswa tunanetra yang mulai bersekolah dan tinggal di kota yang berbeda dengan lokasi SLB, harus meninggalkan atau berjauhan dari keluarga, dan tinggal di asrama.
• Kondisi terpisah dari keluarga ini tentu tidaklah ideal, baik bagi si anak tunanetra khususnya yang masih usia sangat muda, maupun bagi keluarga tersebut; orang tua tidak bisa memantau perkembangan anaknya secara intensif
• Siswa tunanetra hanya berteman dengan sesama tunanetra, ini berdampak pada:
1. Mereka tidak berada di dunia yang sebenarnya; pada kenyataannya, di masyarakat terdiri dari kelompok yang berragam-ragam, tidak hanya satu golongan
2. Sosialisasi menjadi kurang, dan ini berakibat siswa tidak atau kurang siap terjun ke masyarakat nantinya; merasa rendah diri dan kurang percaya diri.
3. Situasi di sekolah kurang kompetitif; biasanya jumlah murid di SLB hanya sedikit, dan siswa tidak terlalu bersemangat untuk ”bersaing secara sehat” untuk meraih prestasi sebaik mungkin.
• Bagi masyarakat, termasuk anak-anak/siswa-siswa yang tidak menyandang kecacatan, mereka tidak atau kurang terbiasa melihat, bertemu dan bergaul dengan siswa yang menyandang kecacatan.
• Akibatnya, siswa dan masyarakat yang tidak menyandang kecacatan kurang bisa memahami dan menghargai siswa dan orang-orang dengan kecacatan.
Mencermati banyaknya kelemahan yang ada pada sistem pendidikan segregatif, di paruh kedua abad 20 orang mulai membuka kesempatan bagi siswa tunanetra untuk menempuh pendidikan di sekolah umum. Sistem ini kemudian disebut sistem pendidikan integrasi, yaitu sistem pendidikan yang ”memberikan kesempatan” kepada siswa tunanetra dan siswa dengan kecacatan lain untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, asal mereka bisa menyesuaikan diri dengan sistem dan kurikulum yang ada.


Daftar Pustaka
1. Enslikopedi Indonesia, edisi khusus 4 KOM, Jakarta: PT Ichtiar Baru – Van Hoave.
2. http://id.wikipedia.org/wiki/muhammadiyah
3. Yusron Razak, Afifi Fauzi Abbas, Nandi Rahman dan Zamah Sari, Pendidikan Agama, ( Jakarta, UHAMKA PRESS, 2001).
4. Mustofa Kemal Pasha, , Ahmad Abady Darban, Muhammadiyah sebagai Historis dan Idiologis
5. Internet, Rekontruksi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, PC IMM, Bandung : 2008


semoga bermanfaat..............