BUDAYA ORGANISASI
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak.
Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan di lingkungan manajemen akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam penerapannya.
Selama ini kita lebih memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ilmu budaya bisa mempengaruhi perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Ada beberapa istilah lain dari istilah budaya seperti budaya organisasi (organization culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate culture). Sedangkan dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah (school learning culture) atau Kultur akademis (Academic culture).
Dunia pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah kultur akademis. Kultur akdemis pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan kerja, serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinan. Dengan demikian terbentuklah sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja yang terinternalisasikan dalam kehidupan sehingga mendorong adanya apresiasi diri terhadap peningkatan prestasi kerja.
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai dapat membentuk sebuah pola prilaku. Ferdinand Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara lain :
1. Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif sehari-hari yang merupakan sebuah kelaziman, baik dalam sikap maupun dalam penampilan sehari-hari.
2. Kebiasaan sebagai kaidah yang diciptakan diri sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri, kemudian menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
3. Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan adanya prestasi pribadi.
Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya dalam organisasi semakin dapat dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli :
1. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
2. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
3. Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
4. Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
5. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan yang akan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.
B. Budaya dan kepribadian
Karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, maka budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Dilihat dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan. Prof. Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”( Soerjono Soekanto, P. 174)
Budaya juga tercipta karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya. Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam pencitraan kampus. Perannya jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat. Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi.
McKenna dan Beech berpendapat bahwa “Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso , 2002: 19). Sedang menurut Talizuduhu Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia”( Ndraha, 2003:123).
Budaya yang kuat akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan lembaga pendidikan akan berpengaruh terhadap sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun diluar organisasi. Secara lengkap Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah organisasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Seorang professional yang berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
C. Organisasi dan Budaya
Membahas organisasi dan budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri. Stephen P. Robbins mendefinisikan organisasi sebagai “…A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a common goal or set of goal”. ( Robbins, 1990: 4). Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan organisasi sebagai “…. A relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior, specialization and structure”(Brown,etal,1980:6). Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two or more persons, a system of conciously coordinated personell activities or forces”( Etzioni, 1961:14).
Dari beberapa definisi tersebut maka organisasi merupakan sebuah bentuk yang terdiri dari masukan (input) dan keluaran (output). Organisasi bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya. Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis.
Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11). Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran menjelaskan bahwa budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman, sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi”. Sementara Taliziduhu Ndraha mengartikan budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit , Ndraha, P. 102).
Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture”. Budaya organisasi didefinisikan sebagai : A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and internal integration (Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam).
Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992, P.16) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadershif”. Ia mendefinisikan budaya organisasi sebagai “ A patern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these problems (Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut).
Amnuai (1989) membatasi pengertian budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.
D. Budaya dan Profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut Harrison ( McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :
1. Budaya kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih memfokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi. Seorang karyawan butuh adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelaziman yang masih menganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan terkadang melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya organisasi.
2. Budaya peran (Role culture).
Budaya ini ada kaitannya dengan prosedur birokratis seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena hal ini diyakini akan menstabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan ini akan mendorong terbentuknya budaya positif yang akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
3. Budaya pendukung (Support culture)
Di dalam budaya ada kelompok atau komunitas yang menjadi pendukung. Mereka mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain budaya peran, dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan yang dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselarasan antara struktur, strategi dan budaya itu sendiri. Dengan menanamkan mental yang kuat dan pemahaman budaya untuk belajar terus menerus (longlife education) maka suatu ketika dapat terjadi perubahan dan perkembangan.
4. Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada dorongan individu dalam organisasi dan suasana yang mendorong eksepsi diri serta usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
E. Karakteristik budaya organisasi
Untuk menentukan indikator secara pasti mengenai budaya organisasi tentu saja merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Namun ada pendapat beberapa ahli yang dapat dijadikan referensi mengenai indikator yang menentukan budaya organisasi. Khun Chin Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank Bangkok 50 tahun yang lalu dengan beberapa indikator antara lain :
1. Ketekunan (dilligency),
2. Ketulusan (sincerity),
3. Kesabaran (patience) dan
4. Kewirausahaan (entrepreneurship).
Sementara itu Amnuai dan Schien membagi budaya organisasi kedalam beberapa indikator yaitu:
1. Aspek kualitatif (basic)
2. Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
3. Aspek komponen (assumption dan beliefs),
4. Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
5. Aspek Integrasi internal (internal integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Sedangkan menurut ajaran Islam budaya kerja dapat dilihat dalam beberapa indikator antara lain :
1. Adanya kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq : 6, Al-Mulk : 15, An-Naba : 11 dan At-taubah : 105))
2. Dalam setiap pekerjaan harus unggul/professional/menjadi khalifah (An-Nahl : 93. Az-Zumar : 9, Al-An’am : 165)
3. Harus mendayagunakan hikmah ilahi (Al-Baqoroh : 13)
4. Harus jujur, tidak saling menipu, harus bekerjasama saling menguntungkan.
5. Kelemah lembutan.
6. Kebersihan
7. Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah
8. Menentang permusuhan.
Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Ciri-ciri Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996:289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi antara lain adalah:
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya individu.
6. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku (Robbins, 1996 : 289).
DAFTAR PUSTAKA
1. http://paul02583.wordpress.com/2008/05/05/kajian-terhadap-konsep-budaya-organisasi/