Bakat dan Kreatifitas

Disusun oleh : Widya Windayani, Maemunah dan Mochamad Adam

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Belajar adalah proses memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar ialah ciri penting yang membedakan dari jenis-jenis makhluk lain, itu memberikan manfaat bagi individu dan juga masyarakat. Bagi individu dalam kebudayaan kita, kemampuan untuk belajar secara terus menerus memberikan sumbangan bagi pengembangan berbagai ragam gaya hidup.

Bagi masyarakat, belajar memainkan peranan penting dalam penerusan kebudayaan berupa kumpulan pengetahuan ke generasi baru. Hal ini memungkinkan temuan-temuan baru berdasarkan perkembangan di waktu sebelumnya.Umumnya, orang tidak tahu teknik mana yang harus digunakan untuk memunculkan ide baru, atau cara mengembangkan bakat yang alami. Mereka belum pernah menjalani pelatihan, atau tidak punya latar belakang kreativitas apapun. Orang sering frustasi ketika berhadapan dengan rintangan kreativitas, saat menemui jalan buntu dan tidak mampu mendapatkan ide baru atau gagal menyelesaikan masalah mendesak. Hal ini menyebabkan hilangnya rasa percaya diri dan semangat kerja mereka, bahkan apabila memiliki ide cemerlang sekalipun mereka lebih cemas akan olok-olok serta kritikan orang lain bukannnya terus maju mewujudkan ide tersebut menjadi kenyataan.
Satu hal yang menyedihkan tentang kreativitas adalah kita semua lahir dikaruniai banyak keterampilan kreatif. Ketika masih bayi, kita secara alamiah selalu ingin tahu serta antusias menjelajahi dunia sekitar. Kita menikmati warna, cahaya, gerakan dan bunyi. Kita ingin merasakan, mengambil dan memanipulasi apa saja yang terlihat. Kita puas menghabiskan hari demi hari bermain dan bereksperimen dengan berbagai benda, mainan dan unsur-unsur alam (hujan, pasir, lumpur dan sebagainya). Semasa bayi sampai bocah baru belajar berjalan, secara alamiah kita adalah ahli rancang bangun, seniman, penyair ahli kerajinan seni dan pemusik. Seiring dengan bertambahnya umur kita mulai membatasi pencarian dan kemampuan kreatif pada usia yang sangat muda. Kreativitas makin jarang diasah hingga akhirnya berhenti tumbuh.
Kini, makin banyak orang menyadari bahwa kreativitas memainkan peran teramat penting dalam meraih kebahagiaan pribadi dan keunggulan profesional. Orang kreatif adalah mereka yang unggul dalam pekerjaan, yang mendirikan usaha baru , yang menemukan berbagai produk yang membangun gedung dan merancang rumah tinggal, yang memproduksi film dan pementasan, menggubah musik, melukis dan menelorkan berbagai karya keindahan.Manusia kreatif acap kali memiliki kehidupan sosial yang mengasyikkan dan merangsang, berinteraksi dengan banyak orang serta menjelajahi tempat-tempat menawan. Dengan demikian mereka terus menerus belajar dan berbuat. Kreativitas juga merupakan aspek penting lingkungan keluarga yang sehat. Para orangtua kreatif tahu cara membantu anak agar menjadi orang dewasa yang mencintai dan memanfaatkan kehidupan secara maksimal. Orang-orang kreatif menjadi pemimpin dalam bisnis dan masyarakat, mengerti cara memecahkan ataupun mengilhami orang lain untuk meningkatkan peran dalam kehidupan.
Khususnya mengenai pendidikan nasional, GBHN 1993 menekankan bahwa “Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, inovatif, dan keinginan untuk maju”. Dalam GBHN 1993 dinyatakan bahwa pengembangan kreativitas ( daya cipta ) hendaknya dimulai pada usia dini , yaitu di lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan dalam pendidikan pra sekolah. Secara eksplisit dinyatakan pada setiap perkembangan anak dan pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan pra-sekolah sampai perguruan tinggi kreativitas perlu dipupuk, dikembangkan dan ditingkatkan, di samping mengembangkan kecerdasan dan ciri-ciri lain yang menunjang pembangunan.
B. Rumusan Masalah
Materi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah “KEBERBAKATAN DAN KREATIVITAS’. Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka masalah yang akan dibahas kami batasi pada :
1. Pengertian kreativitas.
2. Aliran kreativitas.
3. Lingkungan kreatif.
4. Keribadian kreatif dan masa usia kreatif.
5. Meningkatkan kreativitas individual.
6. Memunculkan kreativitas dalam program pembelajaran.
C. Tujuan penulisan.
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi salh satu tugas mata ku;liah Landasan Ilmu Pendidikan.
2. Untuk mengetahui sejauh mana peranan kreativitas individu dalam pembelajaran.



D. Metode Penulisan.
Dalam proses penyusunan makalah ini kami menggunakan metode study literature. Yaitu dengan melakukan proses pencarian dan pengumpulan dokumen sebagai sumber-sumber data dan informasi. Metode ini dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak dilakukan.
E. Sistematika Penulisan.
Bab I Pendahuluan. Dalam bagian ini penyusun memaparkan beberapa pokok permasalahan awal yang berhubungan erat dengan masalah utama. Pada bagian pendahuluan ini dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah
Bab II Keberbakatan dan kreativitas. Pada bagian ini merupakan bagian utama yang hendak sikaji dalam proses penyusunan makalah. Penyusun berusaha untuk mendeskripsikan berbagai temuan yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber atau bahan.
Bab III Kesimpulan dan saran. Pada bagian ini penyusun berusaha untuk menyimpulkan pembahasan yang telah dikemukakan oleh penyusun dalam perumusan masalah.





BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keberbakatan
Dalam Seminar Nasional mengenai "Alternatif Program Pendidikan bagi Anak Berbakat" yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Kreativitas pada tanggal 12-14 November 1981 di Jakarta (Utami Munandar, 1982), disepakati bahwa yang dimaksud dengan:
Anak Berbakat adalah mereka yang orang-orang profesional diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak-anak tersebut memerlukan program pendidikan yang berdiferensiasi dan atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun untuk pengembangan diri sendiri.
Pada konferensi Asia-Pasifik ke-4 tentang Keberbakatan di Jakarta, 4-8 Agustus 1996, Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan dalam pidato kuncinya yang berjudul "Giftedness: A Gift and a Challenge", menyatakan bahwa “keberbakatan” merupakan karunia dan juga tantangan bagi setiap bangsa (Gift berarti bakat maupun karunia). Mempunyai anak berbakat merupakan karunia tetapi juga mengandung tanggung jawab dan tantangan besar bagi mereka yang membina mereka, entah itu orangtua, guru, pengelola sistem pendidikan, atau siapa pun yang ada kaitan nya atau kontak dengan mereka yang berbakat.
Meskipun dasar falsafah dan kebijakan di Indonesia jelas menunjang pelayanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang berbakat istimewa (singkatnya "berbakat"), namun cukup banyak juga orang, termasuk beberapa pakar, yang mempertanyakan perlunya hal itu. Mereka berpendapat bahwa :
Jika anak betul-betul berbakat, ia akan dapat memenuhi kebutuhan pendidikannya sendiri. Ada pula yang beranggapan bahwa jika guru melakukan tugasnya dengan baik, anak berbakat tidak memerlukan perhatian khusus, berbeda dengan mereka yang menyandang ketunaan. Seakan-akan ada kekhawatiran bahwa pelayanan pendidikan khusus bagi yang berbakat adalah tidak demokratis, membentuk kelompok elite, dan merupakan pemborosan.
Sehubungan dengan timbulnya permasalahan ini dapat dikemukakan beberapa pertimbangan atau alasan mengapa pelayanan pendidikan khusus bagi yang berbakat memang diperlukan:
1. Keberbakatan tumbuh dari proses interaktif antara lingkungan yang merangsang dan kemampuan pembawaan dan prosesnya. Pengembangan potensi pembawaan ini akan paling mudah dan paling efektif jika dimulai sejak usia dini, yaitu tahun pertama dari kehidupan, dan memerlukan perangsangan serta tantangan seumur hidup agar dapat mencapai perwujudan pada tingkat tinggi. Dengan kata lain, anak berbakat memerlukan program yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2. Pendidikan atau sekolah hendaknya dapat memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua anak untuk mengembangkan potensinya (bakat-bakatnya) secara penuh. Ditinjau dari segi ini adalah tanggung jawab dari pendidikan yang demokratislah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi mereka yang berkemampuan unggul, atau berbakat istimewa, agar dapat mewujudkan dirinya dengan sepenuhnya. Rasanya ini merupakan hak kemanusiaan mereka. Memberikan perlakuan pendidikan yang sama rata kepada orang-orang yang tidak berkemampuan sama, justru tidak mencerminkan kesamaan kesempatan pendidikan dalam arti kata sesungguhnya. Jefferson pernah berkata, "There is nothing more unequal than equal treatment of unequal people." Kita tidak dapat memaksa anak tunagrahita untuk mengikuti program yang sama dengan kesempatan yang sama seperti anak biasa, sebab bagi anak penyandang ketunaan diselenggarakan pendidikan luar biasa. Demikian pula adalah tidak adil dan dapat menghambat anak berbakat dalam mengembangkan potensinya jika mereka harus melakukan tugas-tugas yang sama pada tingkat yang sama seperti anak biasa, tanpa memberikan program khusus yang dapat memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.
3. Jika anak berbakat dibatasi dan dihambat dalam perkembangannya, jika mereka tidak dimungkinkan untuk maju lebih cepat dan memperoleh materi pengajaran sesuai dengan kemampuannya, sering mereka menjadi bosan, jengkel, atau acuh tak acuh. Cukup banyak anak yang putus sekolah yang sebetulnya termasuk anak berbakat. Karena tidak memperoleh pengalaman pendidikan yang sesuai, anak berbakat dapat menjadi underachiever (yaitu berprestasi di bawah taraf kemampuan yang dimiliki) dalam pendidikan.
4. Terha1ap kekhawatiran bahwa pelayanan pendidikan khusus bagi anak berbakat akan membentuk kelompok elite, perlu dipertanyakan apa yang dimaksud dengan kelompok elite. Apabila yang dimaksud dengan elite adalah "golongan atas", maka memang ditinjau dari keunggulan bakat dan kemampuannya mereka tergolong elite. Sehubungan dengan pembentukan kelompok elite, sering kekhawatiran ini adalah berdasarkan salah paham bahwa mereka yang berbakat adalah dari golongan sosial ekonomi tinggi. Pendapat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwa data statistik menunjukkan lebih banyak dari mereka berasal dari golongan sosial ekonomi tinggi, justru menunjuk pada urgensi untuk menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi mereka yang mempunyai bakat pembawaan unggul tetapi berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan, misalnya karena kemiskinan, ketelantaran, atau sebab-sebab lain. Memberikan perhatian khusus kepada anak berbakat dapat dibenarkan karena manfaat dan kepentingannya adalah untuk seluruh masyarakat.
Agaknya saat ini keunggulan dalam bidang olahraga dan seni dapat diterima dan dihargai oleh masyarakat. Semuanya setuju bahwa olahragawan dan seniman yang berbakat mendapat pendidikan dan pelatihan khusus; jika mereka menjadi juara dalam kompetisi nasional apalagi internasional mereka menerima penghargaan tinggi. Namun mengapa orang sering curiga mengenai "bakat intelektual", bahkan dipandang sebagai ancaman, dan dituduh akan membentuk kelompok elite jika kepada anak berbakat diberi pelayanan pendidikan khusus sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Bukankah masyarakat kita sama-sama membutuhkan kemampuan atau bakat intelektual, seperti juga kemampuan atau bakat fisik dan artistik? Kenyataan menunjukkan bahwa pengadaan program yang memadai bagi yang berbakat tidak menghasilkan sikap keangkuhan yang dikhawatirkan, tetapi justru hubungan sosial dan sikap yang lebih baik terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain (Clark, 1983).
5. Anak dan remaja berbakat merasa bahwa minat dan gagasan mereka sering berbeda dari teman sebaya; hal ini dapat membuat mereka merasa terisolasi, merasa dirinya "lain daripada yang lain", sehingga tidak jarang mereka membentuk konsep diri yang negatif (Yaumil Achir, 1990). Bagaimanapunm, anak berbakat pertama-tama tetap seorang anak dengan kebutuhankebutuhan emosional-sosial seorang anak, dan baru pada tempat kedua ia berbakat. Menghadapi anak berbakat, kita tidak boleh melupakan bahwa ia tetap seorang anak.
6. Jika kebutuhan anak berbakat dipertimbangkan, dan dirancang program untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka sejak awal, maka mereka menunjukkan peningkatan yang nyata dalam prestasi, sehingga tumbuh rasa kompetensi dan rasa harga diri. Dengan program khusus mereka belajar untuk bekerja lebih efisien; mereka mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dengan baik dan mampu melihat solusi dari berbagai sudut pandang. Mereka dapat menggunakan pengetahuannya sebagai latar belakang untuk belajar tanpa batas.
7. Mereka yang berbakat jika diberi kesempatan dan pelayanan pendidikan yang sesuai akan dapat memberi sumbangan yang bermakna kepada masyarakat dalam semua bidang usaha manusia. Masyarakat membutuhlcan orang:orang yang berkemampuan luar biasa ini untuk menghadapi tuntutan masa .depan secara inovatif (Clark, 1983).
8. Dan sejarah tokoh-tokoh yang unggul dalam bidang tertentu ternyata memang ada di antara mereka yang semasa kecil atau sewaktu di bangku sekolah tidak dikenal sebagai seorang yang menonjol dalam prestasi sekolah (antara lain Albert Einstein dan Thomas Edison), namun mereka berhasil dalam hidup. Tetapi berapa banyak dari mereka yang potensial berkemampuan tinggi tidak pernah mencapai keunggulan? Beberapa penelitian membuktikan bahwa lebih dari separo di antara anak berbakat berprestasi jauh di bawah kemampuan mereka, dengan kata lain termasuk underachiever (Marland, 1971; Yaumil Achir, 1990). Jadi tidak benar bahwa anak yang berbakat akan dapat mencapai prestasi tinggi dengan sendirinya dan tidak memerlukan perhatian dan pelayanan pendidikan khusus.
Pada zaman modern ini orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka “cepat menjadi pandai.” Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun; atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan “perilaku aneh” dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa. Maka dari itu kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan isitimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai.
a. Tanda-tanda Umum Anak Berbakat
Sejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah mampu membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun. Mereka akan sangat senang jika mendapat pelayanan seperti yang mereka harapkan.
Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perkembangan, misalnya: anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun. Yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dari teman-teman seusianya. Hal ini tidak jarang membuat guru di sekolah mengalamai kesulitan, bahkan sering merasa terganggu dengan anak-anak seperti itu. Di samping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menerima informasi dalam jumlah yang besar sekaligus. Jika ia hanya mendapat sedikit informasi maka ia akan cepat menjadi “kehausan” akan informasi.
Di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar anak-anak berbakat sering tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Sebaliknya justru menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, misalnya: tulsiannya tidak teratur, mudah bosan dengan cara guru mengajar, terlalu cepat menyelesaikan tugas tetapi kurang teliti, dan sebagainya. Yang menjadi minat dan perhatiannya kadang-kadang justru hal-hal yang tidak diajarkan di kelas. Tulisan anak berbakat sering kurang teratur karena ada perbedaan perkembangan antara perkembangan kognitif (pemahaman, pikiran) dan perkembangan motorik, dalam hal ini gerakan tangan dan jari untuk menulis. Perkembangan pikirannya jauh ebih cepat daripada perkembangan motoriknya. Demikian juga seringkali ada perbedaan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasanya, sehingga dia menjadi berbicara agak gagap karena pikirannya lebih cepat daripada alat-alat bicara di mulutnya.
b. Pelayanan bagi Anak Berbakat
Mengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu: (1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.
Beberapa kemungkinan pelayanan anak berbakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara “lompat kelas”, artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya.
c. Pergaulan Anak Berbakat
Anak berbakat seringkali lebih suka bergaul dengan anak-anak yang lebih tua dari segi usia, khususnya mereka yang memiliki keunggulan dalam bidang yang diminati. Misalnya saja ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat suka bermain catur dengan orang-orang dewasa, karena jika ia bermain dengan teman sebayanya rasanya kurang berimbang. Dalam hal ini para orang tua dan guru harus memakluminya dan membiarkannya sejauh itu tidak merugikan perkembangan yang lain.
Di dalam keluarga pun orangtua hendaknya mencarikan teman yang cocok bagi anak-anak berbakat sehingga ia tidak merasa kesepian dalam hidupnya. Jika ia tidak mendapat teman yang cocok, maka tidak jarang orang tua dan keluarga, menjadi teman pergaulan mereka. Umumnya anak berbakat lebih suka bertanya jawab hal-hal yang mendalam daripada hal-hal yang kecil dan remeh. Kesanggupan orang tua dan keluarga untuk bergaul dengan anak berbakat akan sangat membantu perkembangan dirinya.


• Konsepsi Renzulli tentang Keberbakatan

Konsepsi lain tentang keberbakatan yang sampai sekarang banyak digunakan dalam identifikasi siswa berbakat di Indonesia dan dalam seleksi calon guru anak berbakat adalah "Three-Ring Conception" dari Renzulli dan kawan-kawan (1981) yang menyatakan bahwa tiga ciri pokok yang merupakan kriteria (persyaratan) keberbakatan adalah keterkaitan antara:

• Kemampuan umum di atas rata-rata.

• Kreativitas di atas rata-rata.

• Pengikatan diri terhadap tugas (task commitment) yang cukup tinggi, lihat Gambar 1.1













Gambar 1.1 Konsep Renzulli tentang keberbakatan
(Sumber: JS Benzulli, dkk. The Resolving Door Identification Model Creative Learning Press, Connecticut. H. 19)

Definisi operasional tentang keberbakatan ini merupakan bagian esensial dari setiap program khusus untuk anak berbakat karena memberikan arah, baik untuk sistem identifikasi maupun untuk praktek pendidikan khusus anak berbakat. Suatu definisi merupakan pernyataan yang diungkapkan secara eksplisit, dan menjadi bagian dari kebijakan dan bahkan juga dari peraturan (Renzulli, dkk., 1981). Oleh karena itu, sangatlah penting bahwa suatu definisi memenuhi tiga kriteria berikut:

• Harus berdasarkan riset tentang karakteristik orang berbakat.

• Memberi arah dalam seleksi dan atau pengembangan instrumen dan prosedur identifikasi.

• Memberi arah dan berkaitan dengan praktek program, seperti seleksi materi dan metode instruksi serta seleksi dan pelatihan guru anak
Jika dilihat dari pengertian keberbakatan diatas, Apakah hanya kecerdasan (yang diukur dengan tes intelegensi dan menghasilkan IQ) yang menentukan keberbakatan seseorang ? barangkali untuk bakat intelegtual masih tepat jika IQ menjadi kriteria (patokan)utama, tetapi belum tentu untuk bakat seni, bakat kreatif-produktif, dan bakat kepemimpinan. Memang dulu para ahli cenderung untuk mengidentifikasi bakat intelektual berdasarkan tes intelegensi semata-mata, dalam penelitian jangka panjangnya mengenai keberbakatan menetapkan IQ 140 untuk membedakan antara yang berbakat dan tidak. Akan tetapi, akhir-akhir ini para ahli makin menyadari bahwa keberbakatan adalah sesuatu yang majemuk, artinya meliputi macam-macam ranah atau aspek, tidak hanya kecerdasan.
a. Cultural Intelegence (Inteligence Budaya)
Intelijen Budaya, kecerdasan budaya atau CQ, adalah teori dalam manajemen dan psikologi organisasi, positing bahwa pemahaman dampak dari latar belakang budaya seseorang pada perilaku mereka sangat penting bagi pendidikan yang efektif, dan mengukur kemampuan seseorang untuk terlibat dengan sukses dalam lingkungan atau sosial pengaturan . Pertama digambarkan oleh Christopher Earley dan Segera Ang dalam Budaya Intelijen: Interaksi Individu seberang Budaya. [1] Buku ini diterbitkan pada tahun 2003 oleh Stanford University. Di Singapura, Segera Ang telah menciptakan Pusat Intelijen Kepemimpinan dan Budaya.
Christopher Earley dan Elaine Mosakowski di Oktober 2004 isu dari Harvard Business Review dijelaskan kecerdasan budaya. CQ telah mendapatkan penerimaan seluruh komunitas bisnis. CQ mengajarkan strategi untuk meningkatkan persepsi budaya dalam rangka untuk membedakan perilaku didorong oleh budaya dari orang-orang khusus untuk individu, menunjukkan bahwa mengizinkan pengetahuan dan apresiasi terhadap perbedaan untuk memandu hasil tanggapan dalam praktik bisnis yang lebih baik.
* Kognitif yang berarti kepala (pembelajaran tentang Anda sendiri dan lain budaya,dan keanekaragamanbudaya)
* Fisik berarti: tubuh (menggunakan indra Anda dan menyesuaikan gerakan dan bahasa tubuh untukberbaur)
* Motivasi yang berarti emosi (imbalan mendapatkan dan kekuatan dari penerimaan dan sukses)

CQ diukur pada skala, mirip dengan yang digunakan untuk mengukur intelligence quetiotient seseorang. Orang dengan CQ semakin tinggi dianggap lebih mampu berhasil membaur dengan lingkungan apapun, dengan praktek bisnis yang lebih efektif, dibandingkan dengan CQ lebih rendah.
Intelligence adalah istilah yang telah digunakan untuk waktu yang lama dan merupakan salah satu yang disertai dengan makna yang berbeda. Selama abad ini, terutama intelijen telah ditetapkan oleh tes yang telah digunakan untuk mengukurnya. Ini termasuk langkah-langkah seperti Stanford-Binet (Thorndike, Hagen, & Sattler, 1986) dan Wechsler Timbangan (misalnya, Wechsler, 1991). Tes-tes ini telah menetapkan membangun kecerdasan karena mereka dikembangkan di bagian awal abad ke-20 karena mereka disediakan terstruktur dan metode yang berguna untuk mengevaluasi anak-anak dan orang dewasa.
Mereka telah digunakan begitu lama karena penelitian telah menunjukkan bahwa IQ secara signifikan berkorelasi dengan prestasi, terkait dengan akuisisi pengetahuan dalam pengaturan pekerjaan, sehubungan dengan perolehan pengetahuan dalam pengaturan nonacademic, dan bahkan terkait dengan perolehan pengetahuan anak-anak seseorang (Brody , 1997). Karena faktor-faktor dan utilitas praktis dari tes IQ, mengukur kecerdasan umum telah menikmati digunakan secara luas selama hampir 100 tahun. Tes ini, bagaimanapun, memiliki dua kelemahan utama yang sangat relevan dengan masalah identifikasi anak berbakat. Pertama, usia tes IQ tradisional tidak diijinkan integrasi pemahaman saat ini kecerdasan yang muncul dari penelitian yang dilakukan selama 50 tahun terakhir, kedua, tes IQ tradisional didasarkan pada landasan teoritis lemah kemampuan umum dengan samar-samar pasti konstruksi dan tes yang jelas sarat prestasi (Naglieri, 1999). Kedua, isu tersebut memiliki dampak yang besar terhadap sejauh mana tes ini berkaitan dengan prestasi akademis dan adil untuk anak-anak minoritas. Selain itu, masalah ini membuat tes tradisional tidak efektif untuk identifikasi kreativitas (misalnya, Minhas, 1981).
The PASS (Perencanaan, Perhatian, simultan, dan berurutan) merupakan pendekatan teori pengolahan kognitif dengan kemampuan anak-anak yang didasarkan pada pengolahan, informasi neuropsikologi dan riset psikologi kognitif AR Luria (1966, 1973, 1980, 1982). Menurut Solso dan Hoffman (1991), Luria adalah "yang paling sering dikutip sarjana Soviet di Amerika, Inggris, dan majalah psikologi Kanada (hal. 251)." Luria menggambarkan blok bangunan dasar dari intelijen sebagai unit fungsional, yang berarti bahwa ada proses kognitif dasar yang menyediakan kemampuan 'untuk melakukan tindakan tertentu, masing-masing yang khas sifatnya. Proses-proses kognitif dasar yang terkait dengan berbagai wilayah otak oleh sejumlah peneliti yang Luria (1972) diakui. Unit fungsional pertama perhatian dikaitkan dengan batang otak, diencephalon, dan daerah medial belahan, yang kedua dengan lobus occipital, parietal, dan temporal posterior sulkus pusat, dan yang ketiga diatur oleh lobus frontal, terutama daerah prefrontal.
b. Mulltiple Intelegence (Kecerdasan Majemuk)
Mendidik Anak Cerdas dan Berbakat
Mengembangkan kecerdasan majemuk anak merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak.
Sebagai orang tua masa kini, kita sering kali menekankan agar anak berprestasi secara akademik di sekolah. Kita ingin mereka menjadi juara dengan harapan ketika dewasa mereka bisa memasuki perguruan tinggi yang bergengsi. Kita sebagai masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci utama untuk kesuksesan hidup di masa depan. Pada kenyataannya, kita tidak bisa mengingkari bahwa sangat sedikit orang-orang yang sukses di dunia ini yang menjadi juara di masa sekolah. Bill Gates (pemilik Microsoft), Tiger Wood (pemain golf) adalah beberapa dari ribuan orang yang dianggap tidak berhasil di sekolah tetapi menjadi orang yang sangat berhasil di bidangnya.
Multiple Intelligence-Kecerdasan majemuk Kemungkinan anak untuk meraih sukses menjadi sangat besar jika anak dilatih untuk meningkatkan kecerdasannya yang majemuk itu. Membangun seluruh kecerdasan anak adalah ibarat membangun sebuah tenda yang mempunyai beberapa tongkat sebagai penyangganya. Semakin sama tinggi tongkat-tongkat penyangganya, semakin kokoh pulalah tenda itu berdiri. Untuk menjadi sungguh-sungguh cerdas berarti memiliki skor yang tinggi pada seluruh kecerdasan majemuk tersebut. Walaupun sangat jarang seseorang memiliki kecerdasan yang tinggi di semua bidang, biasanya orang yang benar-benar sukses memiliki kombinasi 4 atau 5 kecerdasan yang menonjol.
Albert Einstein, beliau sangat terkenal jenius di bidang sains, ternyata juga sangat cerdas dalam bermain biola dan matematika. Demikian pula Leonardo Da Vinci yang memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam bidang olah tubuh, seni arsitektur, matematika, dan fisika.
Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup lagi seseorang untuk mengembangkan kecerdasannya secara maksimal. Justru peran orang tua dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi untuk menjamin anak yang berhasil, kita tidak bisa menggantungkan pada sukses sekolah semata. Kedua orang tua harus berusaha sebaik mungkin untuk menentukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing anak.
Menurut Dr. Howard Gardner, beliau adalah seorang peneliti dari Harvard dan pencetus teori Multiple Intelligence mengajukan 8 jenis kecerdasan yang meliputi :
1. Cerdas bahasa - cerdas dalam mengolah kata
2. Cerdas gambar – memiliki imajinasi tinggi
3. Cerdas Musik - peka terhadap suara dan irama
4. Cerdas Tubuh - terampil dalam mengolah tubuh dan gerak
5. Cerdas matematika dan logika - terampil dalam mengolah tubuh dan gerak
6. Cerdas sosial – kemampuan tinggi dalam membaca pikiran dan perasaan orang lain
7. Cerdas alam – peka terhadap alam sekitar
8. Cerdas Spiritual - menyadari makna eksistensi diri dalam hubungannya dengan pencipta alam semesta.
c. Giffted and talented
Yang dimaksud dengan istilah "anak berbakat" adalah "gifted child” atau "gifted children". Di kepustakaan luar negeri juga banyak digunakan istilah "gifted and talented children" yang dapat diterjemahkan menjadi "anak berbakat dan bertalenta". Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988 menggunakan istilah "anak berbakat istimewa" sedangkan GBHN 1993 merujuk pada "peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa"; sementara UU Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 1989) menambahkan dengan "memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa". Pada Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa "Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus". Hal ini dipertegas pada Pasal 24 ayat (1) bahwa setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak "mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya". Demikian pula GBHN 1993 dalam Bab IV khususnya tentang Pendidikan mengamanatkan bahwa "Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa perlu mendapat perhatian lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya". Mengapa anak berbakat perlu mendapat perhatian khusus? Karena peserta didik berbeda-beda dalam bakat, minat, dan kemampuan, maka implikasinya adalah bahwa perlakuan pendidikan perlu disesuaikan dengan potensi setiap peserta didik. Sebagaimana mereka yang tingkat kecerdasannya jauh di bawah rata-rata (tunagrahita) tidak dapat menarik manfaat sepenuhnya dari pendidikan biasa (reguler) dan memerlukan pendidikan luar biasa agar kemampuannya dapat dikembangkan secara optimal, demikian pula peserta didik dengan tingkat kemampuan intelektual jauh di atas rata-rata (anak berbakat) memerlukan perlakuan pendidikan khusus agar bakat dan potensinya yang unggul dapat diwujudkan sepenuhnya. Mengenai bagaimana perlakuan pendidikan khusus bagi anak berbakat itu dapat terlaksana, ada berbagai alternatif: apakah dengan memberikan program pengayaan (enrichment) atau program yang memungkinkan percepatan (acceleration) atau kombinasi antara keduanya. Sehubungan dengan ini UUSPN 1989 Pasal 24 ayat (7) menyatakan secara eksplisit bahwa setiap peserta didik mempunyai hak "menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan.
Jelaslah bahwa baik UUSPN 1989 maupun GBHN 1993 amat mendukung pemberian perhatian dan pelayanan pendidikan khusus tidak hanya bagi anak berbakat tetapi bagi setiap peserta didik dan warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa.
Pada tahun 1998 telah dilakukan survei di beberapa provinsi di Indonesia mengenai kebijakan pendidikan keberbakatan. Survei ini merupakan bagian dari survei yang dilakukan di beberapa negara Asia-Pasifik, dengan tujuan menghimpun data tentang kebijakan pendidikan keberbakatan. Untuk itu kuesioner dari Taiwan tentang masalah kebijakan pendidikan keberbakatan yang hasilnya disampaikan pada Konferensi Asia-Pasifik ke-4 tentang Keberbakatan di Jakarta (Wu-Tien Wu, 1996) telah diadaptasi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Responden dari Indonesia berjumlah 367 orang yang meliputi pakar dalam pendidikan khusus, pakar pendidikan umum, pejabat pemerintah untuk bidang pendidikan, kepala sekolah, guru siswa berbakat dan siswa biasa, dan orangtua anak berbakat dan anak biasa. Hasil survei ini menunjukkan bahwa kebanyakan pakar pendidikan khusus, kepala sekolah dasar dan sekolah menengah, guru siswa berbakat dan siswa biasa, dan orangtua anak berbakat, sangat mendukung pendidikan keberbakatan. Namun, 92% dari responden yang berasal dari kalangan pakar pendidikan (pendidikan khusus dan biasa) terutama pejabat pemerintah mengakui bahwa pendidikan keberbakatan di Indonesia masih kurang dihargai. Secara keseluruhan, 64% responden mengakui bahwa belum ada kebijakan pendidikan keberbakatan yang jelas di Indonesia; namun 96% dari seluruh responden berpendapat bahwa pendidikan keberbakatan di Indonesia perlu ditingkatkan. Sebagian besar pakar pendidikan, administrator pendidikan, dan guru sadar bahwa ada dasar hukum untuk mengembangkan pendidikan keberbakatan di Indonesia, namun para orangtua masih kurang menyadarinya. Sebanyak 69% responden berpendapat bahwa pendidikan reguler dan pendidikan keberbakatan sama-sama perlu ditekankan; dan 73% responden menyatakan bahwa pendidikan keberbakatan dan pendidikan luar biasa bagi penyandang ketunaan sama-sama perlu diperhatikan. Hasil survey ini cukup memberi harapan bagi perencanaan dan implementasi pendidikan keberbakatan di Indonesia. Lebih khusus mengenai pendapat tenaga pendidikan di Indonesia disampaikan pada Bab 5 tentang peranan sekolah (Utami Munandar,1998).








B. Pengertian Kreativitas
Kreativitas didefinisikan secara berbeda-beda oleh pakar berdasarkan sudut pandang masing-masing. Perbedaan dalam sudut pandang ini menghasilkan berbagai kreativitas dengan penekanan yang berbeda-beda seperti berikut ini :
1. Barron mendefinisikan kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru . Sesuatu yang baru di sini bukan berarti harus sama sekali baru, tetapi dapat juga sebagai kombinasi dari unsur-unsur yang telah ada sebelumnya.
2. Guilford menyatakan bahwa kreativitas mengacu pada kemampuan yang menandai ciri-ciri seorang kreatif.
3. Utami Munandar mendefinisikan kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir serta kemampuan untuk mengolaborasi suatu gagasan.
4. Rogers mendefinisikan kreativitas sebagai proses munculnya hasil-hasil baru ke dalam suatu tindakan . Hasil-hasil baru itu muncul dari sifat-sifat individu yang unik yang berinteraksi dengan individu lain, pengalaman, maupun keadaan hidupnya.
5. Drevdal mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk memproduksi komposisi dan gagasan-gagasan baru yang dapat beruwujud aktivitas imajinatif atau sintetis yang mungkin melibatkan pembentukan pola-pola baru dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang.
Dari definisi-definisi di atas disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan atau menemukan sesuatu yang baru, dan atau memodifikasi sesuatu yang sudah ada sehingga manfaatnya bernilai lebih dibanding sebelumnnya.
Kreativitas dalam perkembangannya sangat terkait dengan empat aspek, yaitu aspek pribadi, pendorong, proses dan produk. Ditinjau dari aspek Pribadi kreativitas muncul dari interaksi pribadi yang unik dengan lingkungannya. Ditinjau dari proses menurut Torrance (1998), kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubah dan mengujinya lagi dan akhirnya menyampaikan hasil-hasilnya. Proses kreatif meliputi beberapa tahap, yaitu persiapan , inkubasi, iluminasi dan verifikasi. Definisi mengenai produk kreativitas menekankan bahwa apa yang dihasilkan dari proses kreativitas ialah sesuatu yang baru orisinal dan bermakna. Ditinjau dari aspek pendorong kreativitas dalam perwujudannnya memerlukan dorongan internal maupun dorongan eksternal dari lingkungan.
C. Aliran kreativitas.
1. Aliran terukur
Aliran yang dipelopori oleh David Ogilvy ini bertumpuh pada kekuatan riset. Menurut aliran ini, iklan tidak bisa hanya dibangun oleh intuisi dan imajinasi, dengan riset yang kuat iklan akan tampil lebih terukur dan efisien.
2. Aliran kreatif
Aliran ini terkenal dengan terobosan kreatif yang muncul dari dorongan untuk mengikuti kata hati. Meskipun aliran yang dibangun oleh Bernbach ini juga memiliki tim riset akan tetapi sesungguhnya aliran kreatif bertumpu pada copywriter dan art director. Dalam pengarapan iklan, tugas seorang copywriter dan art director dapat overlapping artinya kadang naskah iklan bisa saja muncul dari pengarah seni atau ide layout dari pembuat naskah iklan.
Cara pendekatan yang cukup berseberangan dengan Ogilvy ini, terutama sikap acuh tak acuh aliran ini pada penekanan terhadap USP (Unique Selling Point), yang menurut Bernbach hanya akan membuat penyampaian sebuah iklan menjadi seragam, membuat biro iklan semacam ini tidak dapat memikat merek-merek besar yang percaya pada iklan sebagai suatu pendakatan terukur. Tetapi hal inilah yang membuat biro iklan Bernbach mempunyai kesempatan mengangkat merek-merek baru atau merek kecil menjadi terkenal.
Akan terjadi perdebatan panjang jika harus disimpulkan mana aliran yang paling baik diantara keduanya, meski sebanarnya tidak hanya ada 2 aliran ini saja di dunia kreatif, namanya juga kreatif. Pada saat perayaan 50th Cannes Lions, DDB, biro iklan yang mewarisi roh Bernbach, menjadi biro iklan yang paling banyak menyabet penghargaan Grand Prix dibanding biro manapun. Pada akhirnya waktulah yang menjawab siapa yang lebih unggul diantara kedua aliran ini.

Csikszentmihalyi mengidentifikasikan sembilan karakteristik aliran sebagai berikut:
1. Ada tujuan yang jelas setiap langkah perjalanan. Mengetahui apa yang ingin Anda lakukan untuk mencapai tujuan dan makna.
2. Ada umpan balik langsung untuk tindakan Anda. Tidak hanya tahu apa yang ingin Anda capai, Anda juga mengetahui jelas tentang seberapa baik yang Anda lakukan. Hal ini membuat lebih mudah untuk menyesuaikan kinerja optimal. . Ini juga berarti bahwa dengan aliran definisi hanya terjadi bila Anda melakukan dengan baik.
3. Ada keseimbangan antara tantangan dan keterampilan. Jika tantangan yang terlalu sulit kita merasa frustrasi, jika terlalu mudah, kita bosan. Aliran terjadi ketika kita mencapai keseimbangan optimal antara kemampuan kita dan tugas di tangan, menjaga kita waspada, fokus dan efektif.
4. Aksi dan kesadaran digabung. Kita semua memiliki pengalaman berada di satu tempat secara fisik, tetapi dengan pikiran kita di tempat lain sering karena bosan atau frustrasi. Dalam aliran ini, kita benar-benar terfokus pada apa yang kita lakukan pada saat itu.
5. Gangguan dikecualikan dari kesadaran. Ketika kita tidak terganggu oleh kekhawatiran atau prioritas bertentangan, kita bebas untuk menjadi sepenuhnya tenggelam dalam tugas.
6. Tidak ada khawatir kegagalan. Fokus satu-minded perhatian berarti bahwa kita tidak secara simultan menilai kinerja kami atau mengkhawatirkan hal-hal yang tidak beres.
7. Kesadaran diri hilang. Ketika kita sepenuhnya terserap dalam kegiatan itu sendiri, kita tidak peduli dengan citra diri kita-, atau bagaimana kita melihat kepada orang lain. Sedangkan aliran berlangsung, kita bahkan dapat mengidentifikasi dengan luar sesuatu atau lebih besar dari rasa diri kita seperti melukis atau menulis kita terlibat di dalam, atau masuk tim bermain.
8. Rasa waktu menjadi terdistorsi. Beberapa jam tidak terasa seperti beberapa menit, atau beberapa saat berlangsung..
9. Kegiatan ini menjadi 'autotelic' - yang berarti itu adalah tujuan itu sendiri. Setiap kali sebagian besar elemen dari aliran yang terjadi, kegiatan tersebut menjadi menyenangkan dan bermanfaat untuk kepentingan diri sendiri.. Inilah sebabnya mengapa begitu banyak seniman dan melaporkan pencipta bahwa kepuasan terbesar mereka datang melalui pekerjaan mereka yang lebih menyenangkan..

D. Lingkungan kreatif
Kreatifitas adalah kemampuan menciptakan atau melakukan sesuatu melalui cara yang baru tidak seperti yang sudah baku.
Kita ambil contoh film yang populer dengan tokoh Mr. Bean. Tokoh Mr. Bean itu selalu punya cara baru dalam melakukan sesuatu, misalnya, saat dia mau mengecat ruangan kamarnya, dia menggunakan bom yang ditaruh dalam sekaleng cat, sehingga saat bom meledak maka seluruh cat berhamburan melapisi dinding kamarnya. Ini cara kreatif, walaupun tentu dalam kenyataannya sangat berbahaya. Dalam film sih sah-sah saja. Bagaimana yang kreatif? Yaitu ketika umumnya orang mengecat menggunakan kuas, dan ternyata Mr. Bean menggunakan bom. Konyol, tapi kreatif. Siapa tahu kelak dalam kondisi yang dipersiapkan secara khusus, memang akan ada cara mengecat menggunakan bom. Bagaimana agar kreatifitas kita muncul? Ada beberapa ciri lingkungan yang merangsang kreatifitas. Kabarnya Archimedes menemukan hukumnya ketika sedang berendam dalam bak mandi. Kabarnya Einstein menemukan rumus E=mc^2 di dapur. Ternyata lingkungan dengan ciri tertentu akan merangsang kreatifitas.
Berikut ini tiga dari beberapa ciri lingkungan yang merangsang kreatifitas:
1. Anda sangat mengenalnya. Ternyata kreatifitas muncul di tempat yang kita merasa sangat mengenalnya. Tempat ini bisa kamar kerja Anda, juga bisa kamar mandi Anda.
2. Anda merasa nyaman di tempat tersebut. Kreatifitas muncul ketika pikiran tenang dan damai. Katanya semua ide kreatif itu telah muncul di alam bawah sadar, dan menjadi mudah keluar saat merasa tenang.
3. Terdapat banyak rangsang luar (stimulus) yang kompleks. Maksudnya banyak hal-hal yang beragam dan bervariasi yang akan merangsang otak bekerja dengan cara baru. Lebih jelasnya kita bandingkan situasi di kota dengan di desa. Di kota banyak terdapat bentuk dan hal-hal yang beragam, maka otak kita lebih terangsang untuk melihat sesuatu dengan cara baru. Sedangkan di desa cenderung monoton, itu-itu saja, yang menyebabkan kreatifitas lebih lambat berkembang. Jadi, sering terjadi kreatifitas muncul di tempat yang kaya dengan ragam bentuk visual, audial, maupun fisikal (ruang kreatif biasanya terdapat banyak benda, walau tentu saja tidak perlu berantakan).
E. Kepribadian kreatif
Biasanya anak yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) daripada anak-anak pada umumnya. Artinya dalam melakukan sesuatu yang bagi mereka amat penting dan disukai mereka tidak terlalu menghiraukan kritik atau ejekan orang lain. Mereka pun tidak takut untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat mereka walaupun mungkin tidak disetujui orang lain. Orang yang inovatif berani untuk berbeda, menonjol, membuat kejutan atau menyimpang dari tradisi. Rasa percaya diri, keuletan dan ketekunan membuat mereka tidak putus asa dalam mencapai tujuan mereka.
Utami Munandar ( 1992 ) mengemukakan ciri-ciri kreativitas antara lain sebagai berikut :
1. Senang mencari pengalaman baru.
2. Memiliki keasyikan dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit.
3. Memiliki inisiatif.
4. Memiliki ketekunan yang tinggi.
5. Cenderung kritis terhadap orang lain.
6. Berani menyatakan pendapat dan keyakinannya.
7. Selalu ingin tahu.
8. Peka atau perasa.
9. Enerjik dan ulet.
10. Menyukai tugas-tugas yang majemuk.
11. Percaya kepada diri sendiri.
12. Mempunyai rasa humor.
13. Memiliki rasa keindahan.
14. Berwawasan masa depan dan penuh imajinasi.
10 Macam Kepribadian Kreatif
Menurut Mihaly Csikszentmihalyi, seorang pakar kreativitas yang telah 30 tahun meneliti kehidupan orang-orang kreatif, kesalahpahaman dalam menghadapi mereka sering timbul karena pada dasarnya individu yang kreatif memang memiliki kepribadian yang lebih kompleks dibanding orang lain. Jika kepribadian manusia biasa pada umumnya memiliki kecenderungan ke arah tertentu, maka kepribadian orang kreatif terdiri dari sifat-sifat berlawanan yang terus-menerus ‘bertarung’, tapi di sisi lain juga hidup berdampingan dalam satu tubuh. Apa saja sifat-sifat kontradiktif mereka?
Orang-orang kreatif memiliki tingkat energi yang tinggi, tapi mereka juga membutuhkan waktu lama untuk beristirahat.

1. Mereka tahan berkonsentrasi dalam waktu yang lama tanpa merasa jenuh, lapar, atau gatal-gatal karena belum mandi. Tapi begitu sudah selesai, mereka juga bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk mengisi ulang tenaga mereka; Di mata orang luar, mereka jadi terlihat seperti orang termalas di dunia.
2. Orang-orang kreatif pada umumnya juga cerdas, tapi di sisi lain mereka tidak segan-segan untuk berpikir ala orang goblok dalam memandang persoalan. Ketimbang terpaku sejak awal pada satu macam penyelesaian (‘cara yang benar’), mereka memulai pemecahan masalah dengan berpikir divergen: Mengeluarkan sebanyak mungkin dan seberagam mungkin ide yang terpikir, tak peduli betapa bodoh kedengarannya.
3. Orang-orang kreatif adalah orang yang playful, tapi mereka juga penuh disiplin dan ketekunan. Tidak seperti dewasa lainnya yang melihat dunia dengan kacamata super-serius, orang-orang kreatif memandang bidang peminatan mereka seperti taman ria. Mereka melakukan pekerjaannya dengan begitu antusias sehingga terkesan seperti sedang bermain-main, padahal sebenarnya mereka juga bekerja keras mewujudkan ‘mainannya’.
4. Pikiran orang-orang kreatif selalu penuh imajinasi dan fantasi, tapi mereka juga tak lupa untuk tetap kembali ke realitas. Mereka mampu menelurkan ide-ide gila yang belum pernah tercetus oleh 6 milyar manusia lain, tapi yang membuat mereka bukan sekedar pemimpi di siang bolong adalah usaha mereka untuk menjembatani dunia khayalan mereka dengan kenyataan sehingga orang lain bisa ikut mengerti dan menikmatinya.
5. Orang-orang kreatif cenderung bersifat introvert dan ekstrovert. Pada kebanyakan orang lain, biasanya ada satu sifat yang cenderung lebih mendominasi perilakunya sehari-hari, tapi kedua sifat itu tampaknya muncul dalam porsi yang setara pada orang-orang kreatif. Mereka sangat menikmati baik pergaulan dengan orang lain (terutama dengan orang-orang kreatif lain yang sehobi) maupun kesendirian total ketika mengerjakan sesuatu.
6. Orang-orang kreatif biasanya rendah hati, namun juga bangga akan pencapaiannya. Mereka sadar bahwa ide-ide mereka tidak muncul begitu saja, melainkan hasil olahan inspirasi dan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan dan tokoh-tokoh kreatif yang menjadi panutan mereka. Mereka juga terfokus pada rencana masa depan atau pekerjaan saat ini sehingga prestasi di masa lalu tidak sebegitu berartinya bagi mereka.
7. Orang-orang kreatif adalah androgini; Mereka mendobrak batas-batas yang kaku dari stereotipe gender mereka. Laki-laki yang kreatif biasanya lebih sensitif dan kurang agresif dibanding laki-laki lain yang tidak begitu kreatif, sementara perempuan yang kreatif juga lebih dominan dan ‘keras’ dibanding perempuan pada umumnya.
8. Orang-orang kreatif adalah pemberontak, tapi pada saat yang sama mereka tetap menghargai tradisi lama. Tentu sulit menyematkan nilai kreativitas pada sebuah teori atau karya yang tidak mengandung sesuatu yang baru, tapi orang-orang kreatif tidak ingin membuat sesuatu yang sekedar berbeda dari yang sudah ada; Ada unsur ‘perbaikan’ atau ‘peningkatan’ yang harus dipenuhi, dan itu hanya bisa dilakukan setelah orang-orang kreatif cukup memahami aturan-aturan dasarnya untuk bisa menerobosnya.
9. Orang-orang kreatif sangat bersemangat mendalami pekerjaannya, tapi mereka juga bisa sangat obyektif menilai hasilnya. Tanpa hasrat yang menggebu-gebu, mereka mungkin sudah menyerah sebelum sempat mewujudkan ide kreatif mereka yang sulit dinyatakan, tapi mereka juga tidak dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar hebat tanpa kemampuan untuk mengkritik diri dan karya sendiri habis-habisan.
10. Orang-orang kreatif pada umumnya lebih terbuka terhadap hal-hal baru dan sensitif pada lingkungan. Sifat ini menyenangkan mereka (karena mendukung proses kreatif), tapi juga membuat mereka sering gelisah -bahkan menderita. Sesuatu yang tidak beres di sekitar mereka, kritik dan cemooh terhadap hasil karya, atau pencapaian yang tidak dihargai sebagaimana mestinya, hal-hal ini mengganggu orang kreatif lebih dari orang biasa.
F. Tahap-tahap Kreativitas atau masa usia kreativitas.
Studi-studi tentang kreativitas pada umumnya menunjukkan bahwa perkembangan kreativitas mengikuti pola-pola yang diramalkan . Ini tampak pada awal kehidupan, yaitu dalam permainan anak kemudian meluas ke berbagai bidang kehidupan lainnya. Karena perkembangan kreativitas juga merupakan perkembangan proses kognitif maka kreativitas dapat ditinjau melalui proses perkembangan kognitif berdasarkan teori yang diajukan oleh Jean Piaget. Menurut Jean Piaget (Mc Cormack, 1982) ada empat tahap perkembangan kognitif yaitu :
• Tahap Sensori-Motoris ( 0 -2 tahun )
• Tahap Praoperasional ( 2-7 tahun )
• Tahap Operasional Konkret ( 7-12 tahun )
• Tahap Operasional Formal ( 12 tahun keatas )
Proses kreatif berlangsung mengikuti tahap-tahap tertentu. Tidak mudah mengindentifikasi secara persis pada tahap manakah suatu proses kreatif itu sedang berlangsung, yang dapat diamati adalah gejalanya berupa perilaku yang ditampilkan oleh individu. Wallas ( Solso,1991 ) mengemukakan empat tahapan proses kreatif yaitu :
1. Persiapan ( Preparation ). Pada tahap ini, individu berusaha mengumpulkan informasi atau data untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Individu mencoba memikirkan berbagai alaternatif pemecahan masalah terhadap masalah yang dihadapi.Dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, individu berusaha menjajaki berbagai kemungkinan jalan yang dapat ditempuh untuk memecahkan masalah. Namun pada tahap ini belum ada arah yang tetap meskipun sudah mampu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan masalah. Pada tahap ini masih amat diperlukan perkembangan kemampuan divergen.
2. Inkubasi ( Incubation ). Pada tahap ini, proses pemecahan masalah “dierami “ dalam alam prasadar. Individu seolah-olah melepaskan diri untuk sementara waktu dari masalah yang dihadapinya, dalam pengertian tidak memikirkannnya secara sadar melainkan mengendapakannya dalam alam prasadar.Proses inkubasi ini dapat berlangsung lama ( berhari-hari atau bahakan bertahun-tahun ) dan juga bisa sebentar ( beberapa jam saja ) kemudian timbul inspirasi atau gagasan untuk pemecahan masalah.
3. Iluminasi ( Illumination ). Tahap ini sering disebut sebagai sebagai tahap timbulnya insight. Pada tahap ini sudah dapat timbul inspirasi atau gagasan-gagasan baru serta proses-proses psikologis yang mengawali dan mengikuti munculnya inspirasi atau gagasan-gagasan baru. Ini timbul setelah diendapkan dalam waktu yang lama atau bisa juga sebentar pada tahap inkubasi.
4. Verifikasi ( Verification ). Pada tahap ini, gagasan yang telah muncul dievaluasi secara kritis dan konvergen serta menghadapakannya kepada realitas. Pada tahap ini pemikiran divergen harus diikuti dengan pemikiran konvergen. Pemikiran dan sikap spontan harus diikuti oleh pemikiran selektif dan sengaja. Penerimaan secara total harus diiikuti oleh kritik . Filsafat harus diikuti oleh pemikiran logis. Keberanian harus diikuti oleh sikap hati-hati. Imajinasi harus diikuti oleh pengujian terhadap realitas. Jadi pada tahap preparation, incubation, dan illumination adalah proses berpikir divergen yang menonjol maka dalam tahap verification yang lebih menonjol adalah proses berpikir konvergen
G. Meningkatkan Kreativitas Individu.
Alan J. Rowe dalam bukunya Creative Intelligence menyatakan bahwa setiap orang memiliki kecerdasan kreatif, namun pada tipe yang berbeda-beda. Rowe membagi kecerdasaAn kreatif dalam empat tipe, yaitu
1. Intuitif
Tipe kreativitas intuitif banyak dimiliki oleh para manajer, aktor dan politikus. Orang-orang yang memiliki kreativitas intuitif biasanya berfokus pada hasil dan menggunakan pengalaman masa lalu dalam memunculkan gagasan-gagasan.
2. Inovatif
Tipe kreativitas inovatif banyak dimiliki oleh ilmuwan, insinyur dan penemu. Orang-orang tipe ini biasanya menekankan pada daya cipta, eksperimen dan sistematika.
3. Imajinatif
Tipe kreativitas imajinatif banyak ditemui pada seniman, musikus, dan penulis. Orang-orang tipe ini biasanya banyak mengambil resiko dengan melewati batas-batas kebiasaan dan tradisi. Mereka lebih berpikiran terbuka dan humoris.
4. Inspiratif
Tipe kreativitas inspiratif banyak ditemui pada pendidik, penceramah dan penulis. Orang-orang tipe ini biasanya memiliki sudut pandang yang positif, mampu membaca kebutuhan orang lain dan menggerakan perubahan.
Rowe juga mengatakan bahwa setiap orang-orang dengan tipe kreativitas berlainan akan merespon masalah dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena itu, Rowe menganjurkan untuk mengenal potensi kecerdasan kreatif kita terlebih dahulu sebelum kita meningkatkan kecerdasan kreatif kita. Inilah hal pertama yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan kreativitas.
Kedua, kita harus terus membuka pikiran kita terhadap setiap gagasan-gagasan baru. Penjelajahan pikiran memungkinkan kita untuk mendapatkan banyak gagasan-gagasan baru. Cara terbaik untuk mendapatkan gagasan cemerlang adalah dengan mengumpulkan banyak gagasan.
Ketiga, kita juga harus terbiasa keluar dari kebiasaan dan tradisi agar senantiasa menemukan hal-hal baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kemapanan dalam cara berpikir dan bersikap kita akan menyebabkan kebekuan kreativitas. Oleh karena itu, kita harus berusaha mendobrak dan keluar zona nyaman kita.
Keempat, kita harus senantiasa menambah wawasan. Proses kreatif bergantung pada wawasan pengetahuan dan pengalaman kita. Jika wawasan kita luas, maka kemungkinan gagasan-gagasan kreatif yang muncul akan lebih banyak. Jika tidak, maka akan sebaliknya.
Kelima, sebaiknya kita selalu menggunakan imajinasi. Otak kita senang menemukan pola, yaitu menghubungkan satu hal dengan hal lain yang berbeda untuk menemukan makna. Pada saat inilah diperlukan imajinasi agar segala sesuatu terlihat menarik dan menakjubkan.
Keenam, kita juga harus melakukan relaksasi sesering mungkin dan mengisi sumber-sumber inspirasi kita. Kejenuhan akan membuat kebekuan. Oleh karena itu, relaksasi akan membuat kita segar kembali. Perasaan yang tenang, senang dan gembira akan mempermudah munculnya gagasan-gagasan cemerlang kita.
Ketujuh, Daniel Goleman dalam The Creative Spirit menganjurkan kita untuk juga menciptakan komunitas kreatif. Sebab manusia saling bergantung satu dengan yang lain. Komunitas juga dapat mendorong kita agar lebih kreatif lagi dalam kehidupan ini.
H. Memunculkan kreativitas dalam program pembelajaran.
Kreativitas juga diperlukan dalam belajar. Berpikir kreatif akan mempermudah kita untuk menyerap dan menyimpan informasi yang didapat melalui proses belajar dengan baik. Hal ini juga mendorong kita untuk memahami masalah dengan cepat dan menemukan gagasan-gagasan yang bersifat solutif dengan cara yang tepat. Banyak metode pembelajaran yang menerapkan berpikir kreatif dalam proses belajar. Namun, disini akan dibahas satu contoh saja, yaitu Quantum Learning. Sengaja dipilih Quantum Learning karena dianggap sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir kreatif sebagaimana disebutkan di atas.
Quantum Learning terdiri atas beberapa kegiatan yang berusaha menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan. Otak kiri menangani masalah-masalah logika, sedangkan otak kanan menangani aspek-aspek emosi. Quantum Learning juga berusaha mengakomodasi setiap gaya belajar si pembelajar yang terdiri dari tiga modalitas utama, yaitu Visual, Auditori dan Kinestetik. Dalam Quantum Learning kegiatan belajar dimulai dengan pertanyaan Apa Manfaatnya Bagiku? (AMBAK). Hal ini dilakukan untuk mengaitkan materi belajar dengan konsep-konsep yang dimiliki si pembelajar. Pada tahap ini si pembelajar akan mencoba mendefinisikan permasalahan-permasalahan untuk kemudian membuatnya tertarik untuk belajar. Dari sinilah awal proses me-makna-i materi belajar oleh si pembelajar dimulai.
Dalam menyimpan informasi Quantum Learning mengajarkan super memory system. Tehnik ini berusaha mengaitkan informasi yang didapat dengan imajinasi si pembelajar. Semakin konyol dan menarik imajinasi yang dibangun, maka akan semakin berkesan. Bila pengalaman belajar sangat berkesan, maka akan mudah untuk disimpan dan ditampilkan kembali.
Quantum Learning juga menganjurkan penggunaan Mind-Mapping untuk mengorganisasi informasi yang diserap. Menurut Tony Buzan, pencipta Mind-Mapping, sistem mencatat dalam Mind-Mapping sama dengan sistem kerja otak kita. Mind-Mapping adalah catatan yang dibuat dalam selembar kertas dalam bentuk cabang-cabang. Tony Buzan juga sangat menganjurkan menggunakan huruf kapital, warna dan gambar dalam Mind-Mapping. Semakin sedikit tulisan dalam Mind-Map dan semakin banyak gambar yang mewakili gagasan-gagasan kita, maka semakin bagus dan berkesan. Mind-Mapping juga mengajarkan agar selalu memperbarui gambar dan simbol yang kita gunakan agar selalu menghasilkan kesan-kesan yang berbeda sehingga menimbulkan makna.
Sebenarnya masih ada beberapa kegiatan yang digunakan pada Quantum Learning, seperti Speed-Reading dan penggunaan musik dalam belajar. Namun, beberapa kegiatan di atas dirasa sudah cukup menggambarkan penggunaan kreativitas dalam Quantum Learning. Hal ini menunjukkan bahwa peranan berpikir kreatif dalam proses belajar dalam mempermudah kita menyerap dan menyimpan informasi.
Menurut Klausmeir langkah-langkah yang diperlukan dalam pembentukan keterampilan memecahkan masalah berlaku pula untuk pembentukan kreativitas. Sekolah dapat menolong siswa mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dan sekaligus mengembangkan kreativitas. Dari hasail-hasil penelitian tentang kreativitas dapat dikemukakan asas-asas pengembangan kreativitas ( Klausmeier & Ripple,1971 ) sebagai berikut :

1. Berekspresi.
2. Mendorong ekspresi kreatif. Untuk mendorong penemuan-penemuan atau tingkah laku kreatif Torance ( 1965 ) mengemukakan saran-saran tentang apa yang dapat dilakukan guru terhadap siswanya sebagai berikut : Hargailah pertanyaan-pertanyaannya, termasuk yang kelihatan aneh atau luar biasa; Hargailah gagasan-gagasan yang imaginatif dan kreatif; Tunjukkan pada siswa bahwa gagasan-gagasan itu bernilai; Kadang berikanlah kesempatan pada siswa untuk melakukan sesuatu tanpa ancaman akan dinilai; dan Masukkan faktor hubungan sebab akibat di dalam penilaian.
3. Sifat sensitif dan peka terhadap persoalan, percaya pada diri sendiri dan fleksibel.
4. Cara-cara mengembangkan kreativitas
Davis ( 1973 ) menyatakan bahwa tiga faktor yang perlu diperhatikan di dalam pengembangan kreativitas :
2. Sikap individu.
3. Kemampuan dasar yang diperlukan.
4. Teknik-teknik yang digunakan, yaitu : Melakukan pendekatan “inquiry” (pencaritahuan); Menggunakan teknik sumbang saran; Memberikan penghargaan bagi prestasi kreatif; dan Meningkatkan pemikiran kreatif melalui banyak media
Menurut Prof. Roy Sombel tips membantu kita agar lebih kreatif :
 Ubah pola pikir
 Olahragakan otak
 Lakukan sesuatu yang kita pikir berat
 Bermimpilah
 Pasti ada jawabannya
 Berlatih membalikkan masalah (problem reversal)
 Tetap tenang
 Tuliskan dalam kertas
 Rangsang otak kita
 Lakukan pada waktu yang tepat
 Beri “Dopping” bila diperlukan
 Menjaga kebugaran badan
 Berkonsentrasilah
Dasar pertimbangan untuk menemukenali atau mengukur bakat kreatif anak, terutama menampilkan lima alasan ( Dacey, 1989 ) yaitu untuk tujuan pengayaan, remedial, bimbingan kejuruan, evaluasi pendidikan dan untuk mengkaji kreativitas pada berbagai tahap kehidupan. Kreativitas atau bakat kreatif dapat diukur secara langsung dan tidak langsung dan dapat menggunakan tes atau non-tes. Ada pula alat untuk mengukur ciri-ciri kepriibadian kreatif dan dapat dilakukan pengamatan langsung terhadap kinerja kreatif.







BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kemampuan dan kebutuhan yang beragam dari siswa memerlukan kurikulum yang berdiferensiasi bagi siswa berbakat paling tidak ada empat faktor yang perlu dimodifikasi agar mereka memperoleh pembelajaran yang sesuai. Keempat bidang ini ialah lingkungan belajar, konten pembelajaran, proses atau metode pembelajaran dan proses belajar siswa. Dengan demikian siswa menjadi pelajar yang aktif dalam lingkungan yang memupuk perkembangan keterampilan dan kemampuan baru.
Kebutuhan sosial akan kreativitas dirasakan di mana-mana, dan tampak dalam sistem pendidikan, penggunaan waktu luang, pengembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan keluarga.
Makna dari pengembangan kreativitas berkaitan dengan kualitas perwujudan diri, peningkatan kemampuan berpikir kreatif, kepuasan dalam mencipta, dan peningkatan kualitas hidup.
Sikap orang tua dalam mendukung kreativitas anak juga sangat diperlukan dengan menyediakan sarana pendukung dan motivasi serta mengembangkan hobi dalam keluarganya masing-masing.
Dalam kegiatan pembelajaran guru harus senantiasa berusaha memikirkan bagaimana cara menumbuhkan kreativitas siswa dalam belajar, dengan mempertimbangkan tahap-tahap munculnya kreativitas (Persiapan, inkubasi, iluminasi, verifikasi). Misalnya dengan meminta siswa membuat contoh soal sendiri dan menyelesaikannya, setelah menyajikan bahan ajar tertentu.
Guru perlu mencerminkan sikap kooperatif dan demokratis serta mempunyai kompetensi dan minat terhadap proses pembelajaran. Peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan pendidikan perlu diwujudkan untuk membentuk remaja-remaja kreatif.
B. Saran-saran
1. Sasaran pendidikan dan kurikulum perlu dianalisis untuk mengetahui fungsi-fungsi mental apa yang dituju dalam pendidikan. Hendaknya suatu program yang menetap bagi pengembangan kemampuan kreatif ditingkatkan. Perangsangan serta sensitivitas siswa terhadap obyek-obyek atau gagasan secara sistematis disusun.
2. Guru sebaiknya menyusun model-model belajar mengajar yang bisa meningkatkan kreativitas anak seperti :
• Taksonomi Bloom tentang Sasaran Pendidikan Ranah Kognitif
• Model Struktur Intelek dari Guilford
• Model Talenta Berganda dari Taylor
• Model Treffingger Untuk mendorong belajar kreatif
• Model Enriechment
• Model Pendidikan Integratif dari Clark dan yang lainnnya.
3. Siswa hendaknya berusaha mengenali kemampuan dirinya dan menghilangkan kendala-kendala baik yang berasal dari lingkungan makro ( kebudayaan masayarakat ), maupun dari lingkungan keluarga dekat dan teruatama dari dirinya sendiri



DAFTAR PUSTAKA
Slameto, Drs. 2003. Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta : PT.Rineka Cipta.
Rahman Saleh. Abd. 2004. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam. Jakarta : Kencana.
Munandar, S.C.U. (ed.), Bunga Rampai Anak-anak Berbakat, Pembinaan dan Pendidikannya,
Rajawali, Jakarta,1982.
S.C. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas Anak Sekolah, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, 1992.
Munandar, Utami, Kreativitas dan Keberbakatan; Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat, Jakarta : PT. Gramedia Pusataka Utama, 1999.
Mohammad Ali. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Bumi Aksara.
Utami Munandar,S.C(Ed.) 2002. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta.
The Liang Gie. 1995. Cara Belajar Yang Efisien. Yogyakarta : Liberty
Jonshon, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: Penerbit Mizan Learning Center.
Rowe, Alan J. 2004. Creative Intelligence: Membangkitkan Potensi Inovasi dalam Diri dan Organisasi Anda. Bandung: Penerbit Kaifa.
Goleman, Daniel, Paul Haufman dan Michael Ray. 2005. The Creative Spirit: Nyalakan Jiwa Kreatifmu di Sekolah, Tempat Kerja, dan Komunitas. Bandung: Penerbit MLC.
DePorter, Bobbi, Mark Readon. 1999. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Armstrong, Thomas. Armstrong, Thomas. " Multiple Intelligences: Seven Ways to Approach Curriculum ," Educational Leadership , November, 1994. " Multiple Intelligences: Tujuh Cara Pendekatan Kurikulum , "Kepemimpinan Pendidikan, November 1994.

Semoga bermanfaat.......